Ragam Persepsi Visual Perupa terhadap Sosok Tokoh Pendidik Tamansiswa

Sejarah & Budaya466 Dilihat

Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Menjadikan tokoh publik sebagai subject matter karya seni rupa menjadi hal yang menarik dan menantang bagi perupa. Terlebih sang tokoh adalah sosok yang tidak biasa, semacam R.A. Sutartinah (1890-1971) yang dikenal sebagai pendidik dan aktivis perempuan pada masa kolonial Belanda, sebagaimana yang terlihat pada pameran bersama bertajuk “Sutartinah” di Galeri Rumah DAS, Yogyakarta, 14 September – 14 Oktober 2025.

Sutartinah adalah sosok perempuan yang berperan dalam dunia pendidikan dan pergerakan perempuan. Dia yang juga dikenal dengan nama Nyi Hadjar Dewantara menjadi mitra suaminya R.M. Suwardi atau yang dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia.

Sutartinah ikut menggagas Kongres Perempuan Indonesia I dan mendirikan organisasi Wanita Tamansiswa, juga meneruskan kepemimpinan Tamansiswa menjadi kontribusi besar.

R.A. Sutartinah yang merupakan keturunan bangsawan dari Kadipaten Pakualaman,
Yogyakarta, membawa kesadaran untuk mengintegrasikan nilai budaya Jawa ke dalam perjuangan pendidikan perempuan. Dia tak melihat perempuan sebagai pihak yang harus dilepaskan dari tradisi, tapi menjadi bagian integral dari pembangunan bangsa dengan tetap mempertahankan nilai luhur budaya Jawa.

Potret sosok Sutartinah itulah yang dieksplorasi 24 perupa pada pameran ini. Ada lukisan potret Sutartinah memakai kebaya berwarna biru dalam torehan kuas ekspresif karya perupa senior Kartika Affandi (Potret Nyi Hadjar Dewantara, 2025). Ada juga potret Sutartinah memakai kebaya bersama dua perempuan mengenakan topeng (Dyan Anggraini, Lingkar, 2025).

Sebaliknya Ugo Untoro (1970) menutup wajah petempuan berkebaya dengan warna hitam dalam posisi duduk pada karya lukis dengan struktur garis sederhana dalam warna monokrom (Self Potrait as a Mother, 2025). “Secara selintas Ibu Sutartinah ini adalah motor dari suaminya, bahkan gerak dan perannya kalau dibaca lagi mungkin lebih banyak dari suaminya,” ujar Ugo.

Sosok Sutartinah yang tampak syahdu muncul pada karya Andi Firda Arifa berupa potret Sutartinah dalam warna monokrom berhiaskan bunga celup piring yang sedang mekar– bunga kesukaannya– sebagai ekspresi kerinduan Sutartinah pada Indonesia saat berada di Belanda (Jejak Rindu Sutartinah, 2025).

Peran Supartinah dan suaminya Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan yang diperdebatkan apakah sekadar pendamping atau setara dengan sang suami muncul dalam sejumlah karya. Pada karya Bulan Fi Sabilillah (1999) misalnya, lewat karya grafis dia menampilkan citraan sosok Sutartinah bak super woman berdiri mengenakan pakaian kebaya dengan jubah berkibar di belakangnya, berpegangan tangan dengan Ki Hadjar Dewantara di atas perahu dengan latar belakang logo Tamansiswa (Lentera, 2025).

“Sutartinah bukan sekadar pendamping atau pelengkap tetapi rekan seperjuangan dalam perahu yang sama,” ujar Bulan Fi Sabilillah.

Narasi yang senada juga muncul pada karya lukis Syam Terrajana yang menggambarkan sosok perempuan berkebaya berdiri membawa bendera bertuliskan: Semua Orang adalah Guru. Di sebelahnya duduk sederet siswa sedang membuka buku dengan latar papan tulis hitam bertuliskan: bengoenlah kaoem jang terhina! (Last Woman Standing, 2025).

“Sutartinah tidak berada di samping Ki Hadjar Dewantara, namun di depan, dalam konteks membela dan menyokong sikap Ki Hajar menentang kolonialisme, termasuk sebagai pendorong utama bagi suaminya untuk mengubah strategi perlawanan dari jurnalisme dan aktivisme ke dunia pendidikan,” ujar Syam Terrajana.

Karya patung Ajeng Pratiwi (1993) pada pameran ini sarat dengan metafora. Dia tidak menampilkan visual Sutartinah, tapi merefleksikan jiwa perjuangannya. Ada dua tangan mengangkat bentuk perahu sebagai simbol kekuatan mengarungi perjalanan hidup, dan figur transparan dengan gestur seolah sedang mengangkat tantangan perjuangan yang dihadapi (Harmoni, 2025). Satu keseimbangan antara rapuh dan kuat, pasrah dan bertahan dalam perjuangan Sutartinah.

Eksplorasi terhadap metafora juga dilakukan Kemala Hayati (2000) dengan teknik kriya mengolah citraan peralatan untuk kegiatan memasak dan peralatan rumah tangga lainnya. Ada apron (kain pelindung untuk kegiatan memasak), sendok, garpu, gantungan baju, dan peralatan dapur yang dicetak menjadi siluet biru-putih. Bingkai renda di sekeliling tiap karyanya menghadirkan nuansa rumah tangga, sekaligus mengangkat keterampilan tangan sebagai wujud ketekunan dan dedikasi.

Karya ini mengubah benda sederhana menjadi pernyataan visual tentang penghargaan, pengakuan, dan perlawanan terhadap invisibilitas kerja perempuan. Narasi karya ini terinspirasi dari gagasan Nyi Sutartinah tentang pentingnya pendidikan dan martabat perempuan. “Kerja domestik bukan sekadar kewajiban, melainkan bagian dari sejarah, pengetahuan, dan kontribusi penting perempuan dalam membentuk kehidupan,” ujar Kemala.

Sebaliknya, kompleksitas persepsi visual terhadap sosok Sutartinah dibuat lebih sederhana oleh Oggzgoy (1992) dengan mengeksplorasi jejeran figur perempuan dari struktur garis sederhana dalam warna monokrom (Baru Tahu 1922-1971, 2025). Karya Oggzgoy seolah menarasikan sesulit apapun masalah yang dihadapi Sutartinah dan Ki Hadjar Dewantara menggelar misi pendidikan akan sederhana jika dilakukan dengan tekad yang kuat.■Raihul Fadjri