
Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Di tengah isu deforestasi yang diduga sebagai penyebab banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, berlangsung pameran seni rupa yang mengeksplorasi isu lingkungan bertajuk Environment and Humanity di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, 6 – 9 Desember 2025.
Pameran berskala internasional ini melibatkan 59 pelukis dari sembilan negara. Karya dalam pameran ini membentuk lanskap konseptual tentang isu ekologi, identitas budaya, spiritualitas, transformasi batin, hingga kritik terhadap modernitas. “Para seniman menghadirkan resonansi visual yang mencerminkan kegelisahan, harapan, serta pergulatan manusia dalam menjaga keseimbangan bumi,” ujar Supantono Suwarno, kurator pameran.
Sejumlah karya menegaskan hubungan esensial antara manusia dan alam. Deden Hamdani menyajikan citraan sebatang pohon berdiri teguh di tengah kesunyian dan kegelapan cakrawala (The Lonely Tree, 2024). “Karya ini menjadi metafora ketabahan manusia menghadapi kesendirian di tengah krisis ekologi,” kata Supantono.
Pelukis asal Malaysia, Janiz Chan Lai Keen, menghadirkan citraan figur yang menyatu dengan dedaunan, seolah tubuh manusia adalah kebun tempat penyembuhan jiwa (The Gardener’s Alchemy, 2023)
Pameran ini menunjuklan bahwa seni dapat menjadi peta kesadaran global. “Para seniman berbicara dengan bahasa universal, bahwa bumi sedang sakit dan manusia harus kembali menemukan kemanusiannya,” kata Supantono.
Karya Yemi Tubi (The Message in the Botle, 2025), karya Agus Nuryanto (Tanah Surga, 2025), karya seniman Polandia Agnieszka Pluszczwicz (Corals, 2025), hingga karya seniman dari Amerika Serikat, Beatriz Ramirez (Echoes of Asia, 2025) merupakan suara yang mengingatkan kita untuk merawat bumi, budaya, dan hubungan antar manusia. “Melalui karya yang kuat dan bernas, para seniman mengingatkan bahwa menjaga lingkungan berarti menjaga kehidupan, dan menghormati kemanusiaan berarti melindungi masa depan bersama,” ujar Supantono Suwarno.■ Raihul Fadjri