Jakarta, dialoguejakarta.com – Masih ingat pelukis post impresionis Paul Cèzanne (1839 – 1906)? Pelukis asal Prancis bercorak still life terpopuler ini pernah berkata: “Saya akan mengagetkan Paris dengan sebuah apel”. Hasilnya lukisan berupa bentuk sekeranjang apel digelontorkan pada kain putih di atas meja dengan botol dan roti di atas piring di dekatnya (Le Panier de Pommes/Keranjang Apel, 1893).
Di Yogyakarta, pelukis Wedhar Riyadi (1980) tidak melukis benda still life yang sudah tersedia sebagaimana yang dilakukan Paul Cèzanne. Dia justru membuat sendiri benda-benda yang akan dia lukis dan kemudian dia pajang pada pameran tunggalnya bertajuk “Di Antara Keheningan” di Ara Contemporary, Jakarta, 16 Agustus – 14 September 2025.
Benda still life itu berupa berbagai benda yang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dari bentuk botol, hingga vas bunga; dari bentuk lampu duduk hingga bentuk kacamata. Semua benda-benda itu dia buat dari bahan tanah liat. “Prosesnya, saya bikin model dulu pakai tanah liat. Tapi model tanah liat itu tidak saya bakar sebagaimana membuat keramik. Setelah jadi baru lah kemudian objek itu saya lukis,” ujar Wedhar.
Dalam karya Wedhar, jejak kehadirannya terasa pada permukaan objek dari tanah liat itu, berupa tekstur hasil sentuhan jari tangan dan goresan pada permukaan benda, mengesankan sesuatu yang sudah lama terpendam dan usang dimakan usia. Hasilnya, lukisan still life dalam warna monokrom coklat dengan terpaan cahaya yang menghasilkan bayangan gelap.
Ada citraan bentuk pasangan pengantin dengan pakaian Jawa yang diapit tanaman (Loro Bonyo, 2025), ada pula komposisi tumpukan buku yang di bagian atasnya tergeletak bentuk kunci dan vas bunga, sementara di sekitarnya tergeletak kacamata, kabel listrik dan lampu meja (Reses, 2025).
Nyaris semua benda yang mengisi rumahnya menjadi sumber penciptaan karya tiga dimensi dari tanah liat yang kemudian dia lukis. Ada susunan bentuk botol atau benda tempat penyimpanan cairan yang biasanya teronggok di dapur rumah (Berongga di Dalam, 2025). Ada pula citraan tanaman berdaun berbentuk geometris di dalam vas (Pilea Pucat, 2024). Tanaman dengan bentuk daun yang tak biasa ini berasal dari Provinsi Yunan, Tiongkok (Pilea Paperomioides).
Material tanah liat itu sebagai metafora yang mewakili sosok manusia, dengan karakternya yang sensitif, mudah berubah, peka terhadap sentuhan, lunak, sekaligus rentan. “Dari beberapa kepercayaan memang asal dan akhir manusia kan dari tanah,” katanya.
Wedhar menggarap karya still life ini bermula saat pandemi Covid-19, ketika setiap orang terpaksa harus berada di dalam rumah. “Awalnya dulu waktu pandemi, karena memang banyak di rumah dan interaksi keluar terbatas, jadi yang dilihat cuma benda-benda yang ada di dalam rumah. Maka aku mereplika benda-benda itu,” ujarnya. Latar penciptaan karyanya ini sekaligus mengingatkan betapa rentannya manusia pada masa pandemi Covid-19.■ Raihul Fadjri
