Merayakan Tokoh Seni Patung Abstrak Lewat Beragam Corak Karya Seni Patung

Sejarah & Budaya774 Dilihat

Yogyakarta.dialoguejakarta.com – Di tengah langkanya pameran patung di republik ini, digelar pameran patung bertajuk “Arby Samah: 95 Tahun” di Galeri Taman Budaya Sumatra Barat, Padang, 19 – 23 Juni 2025. Arby Samah (1934 – 2017) dikenal sebagai pelopor seni patung bercorak abstrak di Indonesia.

Selain memajang patung karya Arby Samah yang pernah mengenyam pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada 1957, pameran ini juga memajang karya 26 seniman patung etnis Minang baik yang tinggal di Sumatera Barat maupun yang sudah merantau ke Yogyakarta. Selain itu pameran ini juga menyertakan seniman patung asal Belgia, Jepang, Nepal, dan Malaysia.

“Kehadiran pameran ini tidak hanya menjadi ajang nostalgia, tetapi juga momentum perenungan dan inspirasi bagi kita semua, terutama di tengah dunia yang serba cepat dan sering kali lupa pada akar,” ujar Ali Umar, kurator pameran.

Sejumlah karya yang dipamerkan bercorak abstrak sebagaimana corak karya Arby Samah. Ada karya patung Jon Wahid (1970) bentuk abstraksi figur dalam posisi duduk dari bahan kayu, pasir dan besi (Bermenung, 2024). Ada juga karya John Hardi (1957) berupa bentuk tunggal bak tubuh sedang meliuk dari materi kayu (Virgin, 2025). Adapun karya patung Lisa Widiarti (1964) berupa bentuk mirip figur dengan posisi tangan seperti sedang berdoa dari materi resin polister (Munajat, 2024).

Pameran ini menjadi lebih beragam dengan sejumlah karya patung bercorak realis. Tengok saja karya patung Abdi Setiawan (1971) seniman patung adal Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat yang kini bermukim di Yogyakarta. Abdi menampilkan sosok figur berkepala mirip hewan anjing mengenakan kemeja putih berdasi merah dan celana blue jeans, berdiri di didepan buah labu dalam warna merah menyala berukuran besar dengan latar belakang lanskap hijau dan langit biru di dalam frame berbentuk kotak. Abdi dikenal sebagai seniman patung yang memadukan karya patung dengan karya lukis.

Atau tengok pula karya Angga El Patsa berupa tiga kepala anak-anak tertutup sarung kepala Batman yang terkurung di dalam sangkar besi dengan rantai besi berjuntai. Karya ini sebagai simbol bahwa sosok Batman merupakan manusia yang mengandalkan kecerdssan tapi terkungkung tak berdaya (Lingkaran Sistem, 2025). Adapun Erlangga mengeksplorasi patung bercorak surealisme lewat sosok figur dalam posisi berdiri dengan tubuh putih yang dipenuhi deretan rongga berbentuk bulat di sekujur tubuhnya. Sementara bentuk seekor hewan mirip buaya seperti bergayut di tubuhnya. (Dreaming of The Future).

Seniman patung Komroden Haro (1966) yang biasa menggarap narasi lingkungan dan sosial pada karya patungnya menghadirkan bentuk rumah bak melayang di awang-awang dengan ditopang citraan bentuk mirip lendir yang memadat hingga ke bagian bawahnya sebagai penopang untuk melawan gaya grafitasi (Meninggi, 2024). Adapun seniman patung Nardi (1966) mengeksplorasi bentuk realis dengan menampilkan sosok bayi berwajah seperti sedang menangis, sementara tubuhnya berbalut kain blue jean (Baby Cry, 2025).

Karya patung Yulhendri (1964) seperti menutup hajat perayaan pameran patung ini dengan karya bercorak kubisme figuratif dari bahan materi aluminium. Yulhendri menampilkan dua sosok figur dalam posisi merapat dengan gestur tubuh bak menebar aura kasih (Adam dan Hawa, 2025). Sayang durasi pameran untuk mengenang pelopor seni patung abstrak ini hanya berlangsung dalam lima hari. ■ Raihul Fadjri

Komentar