Agus Kama Loedin Eksplorasi Materi Kawat Aluminium Menjadi Karya Seni Rupa

Jalinan kawat tak cuma membangun citraan tubuh, tapi juga membuat bentuk yang lebih rumit dan detil berupa berbagai bentuk ornamen yang melekat pada citraan tubuh.

 

 

Yogyakarta, dialoguejakarta.com -Keprigelan tangan menjalin batang-demi batang kawat membangun citraan tiga dimensi dilakukan Agus Kama Loedin sebagai karya seni rupa. Yang menarik, pria kelahiran Surabaya pada 1962 ini menyusun dan mengaitkan potongan-potongan kawat dalam bentuk garis maupun bentuk geometris ke dalam struktur citraan yang menghasilkan sensasi transparan. Dengan bentuk tiga dimensi yang tembus pandang itu orang bisa melihat citraan bayangan struktur bentuk di belakangnya. Jalinan kawat-kawat itu muncul dalam warna-warna metalik yang terkesan berbau pop, berupa warna kuning emas, merah marun, coklat, biru dan hijau.

Agus mendapatkan materi kawat warna-warni itu saat berlangsung pameran industri di Filipina, tempat dia menetap sejak 2005. “Di Indonesia saya tidak menemukan kawat berwarna,” ujarnya, Rabu, 10 Desember 2025. Maka dia pun memborong 400 kilogram kawat aluminium di Filipina untuk membuat karya seni patung yang tak biasa. Dia pun segera mempelajari teknik anyaman untuk mengolah bentuk dengan materi kawat aluminium hanya dengan menggunakan tangan. Di Filipina lah pria yang menempuh pendidikan arkeologi di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Leiden ini memutuskan sepenuhnya menjadi seniman.

Jalinan kawat itu tak cuma membangun citraan tubuh, tapi Agus juga membuat bentuk yang lebih rumit dan detil berupa berbagai bentuk ornamen yang melekat pada citraan tubuh itu. Citraan bentuk dengan komposisi warna metalik itu berupa berbagai bentuk tangan (Vajra, Witarkhamudra), kepala (Moksa, Reinkarnasi), stupa, ganesa, kepala lembu (Nandi) dan simbol lain yang dekat dengan khasanah budaya dan agama Budha dan Hindu. Karya bertajuk Reinkarnasi, misalnya, berupa citraan tengkorak kepala manusia dari jalinan kawat bewarna biru berhiaskan mahkota dengan berbagai bentuk ornamen dalam warna metalik hijau, merah marun, kuning emas, dan coklat.

Agus membungkus karya tiga dimensi maupun dua dimensinya dengan narasi berupa teks yang terkesan berbau akademis. “Moksa adalah kebebasan dari samsara, kebebasan dari siklus kematian dan lahir kembali (reinkarnasi), bebas dari ketidaktahuan. Ketika seseorang mencapai moksa dia bersatu dengan alam semesta. Tetapi dalam tahap awal justru kehidupan manusia secara normal harus dijalani,” tulis Agus Kama Loedin pada karyanya berbentuk seperti kepala Budha tapi dalam citraan tengkorak kepala manusia.

Medium kawat bagi Agus, punya kesulitan tersendiri. Proses tersulit yang harus dikerjakan adalah membuat struktur bentuk, karena butuh tenaga ekstra dalam menangani kerasnya logam. Seringkali, bentuk rangka yang diinginkan harus terhalang atau tak sesuai karena logam yang keras sehingga tidak selalu mudah untuk diolah.

Sedangkan tugas lain yang tak kalah rumit adalah membuat sambungan kawat tanpa membuatnya terlihat. Malahan, pekerjaan menganyam yang tampak rumit merupakan tugas yang dianggap paling sederhana. Kesulitan yang dia alami saat membuat karya seni dengan kawat adalah tangannya menjadi sakit, lecet-lecet. “Tapi ada keasyikan, kesabaran, dan ketekunan, karena tidak bisa instan,” kata Agus yang sempat menekuni dunia fotografi.

Dari karya yang dihasilkan itu, Agus menggunakan 72 warna dari kawat berbahan alumunium dan tembaga. Selain karya ornamen yang dibuat, Agus juga melukis dengan material kawat. Untuk karya lukisan unik itu, material yang digunakan dominan pada alumunium. “Untuk lukisan saya gunakan kawat aluminium yang dicoating, berlapis,” ujar Agus.

Karya seni berjudul ‘Moksa’ berupa tenggorak memakai mahkota, sebagai ungkapan kebebasan dari samsara, kebebasan dari siklus dan lahir kembali (reinkarnasi), bebas dari ketidaktahuan. Ketika seseorang mencapai moksa, ia bersatu dengan alam semesta.

‘Reinkarnasi’ karya berwujud kepala manusia lengkap dengan mahkota dengan mutiara memberi pesan hidup terdiri atas jasmani dan rohani yang sangat terkait dan tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi. Keinginan jasmani dapat mempengaruhi roh.

Demikian pula dengan karya berjudul ‘Mayura’ berwujud burung merak yang dalam Hinduisme disebut dengan kendaraan Dewa dan Dewi. Karya dua dimensi bertajuk ‘Cermin Ken Dedes di Tumapel’ sebagai cermin Kendedes mewakili sosok individu yang mampu bercermin dalam dua pengertian. Dia menjadi sosok perempuan yang sempurna kecantikannya.

Karya ‘Nandi’ berwujud lembu yang berperan sebagai kendaraan Dewa Shiwa. Sedangkan ‘Ganesh’ sebagai dewa penghancur segala rintangan, Ganesh banyak dipuja masyarakat. Demikian pula karya Stupa, Roda Dharma, Pemujaan Teratai Lingga Yoni dan karya seni lainnya juga menyampaikan pesan. “Karya saya berhubungan dengan budaya. Di balik hasil budaya itu ada filosofi yang sangat tinggi,” kata Agus.

Selain mengeksplorasi simbol-simbol budaya itu, Agus juga mengeksplorasi tengkorak kepala anjing dan babi dengan rangkaian kawat di bagian belakang dalam warna hijau dan biru metalik. “Selling poin karya saya, tidak bisa disamakan dengan karya seniman lain,” ujar Agus yang sedang menyiapkan pameran tunggal di Bali.■ Raihul Fadjri