Indonesia Gelap dalam Tafsir Visual Perupa

Sejarah & Budaya677 Dilihat

Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta bak membawa penonton pada masa lalu lewat alunan lagu lawas ciptaan Presiden Sukarno, berjudul: Bersuka Ria. Lagu dengan irama Lenso ini dilantunkan dengan suara syahdu oleh Rita Zahara, Bing Slamet, Titiek Puspa dan Nien Lesmana dengan iringan orkes Irama pimpinan Jack Lesmana yang dirilis pada 14 April 1965.

Mari kita bergembira sukaria bersama
Hilangkan sedih dan duka mari nyanyi bersama

Siapa bilang bapak dari blitar
Bapak kita dari prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar
Indonesia banyak makanan

La la la la la

Lagu ini mengiringi rekaman video animasi karya perupa Samuel Indratma berjudul Mustikarasa Journey, berupa citraan bentuk beragam sayuran dan buah-buahan dengan foto Presiden Sukarno di atasnya dengan latar belakang puncak bebukitan.

“Sosok Sukarno bukan hanya sebagai pemimpin politik, tapi juga sebagai penggagas ekspansi kultural lewat jalur gastronomi (seni penyajian makanan),” ujar Samuel Indratma. Diplomasi gastronomi sebagai ekspansi kultural berbasis soft power, bukan kekerasan.

Ekspansi seni penyajian makanan ala Presiden Sukarno ini mengingatkan pada program Makan Bergizi Gratis, satu keputusan politik saat ini, dengan 6.452 kasus keracunan menu MBG berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia per akhir September 2025.

Lepas dari program MBG yang bermasalah itu, ekspansi gastronomi Presiden Sukarno pada karya Samuel itu merupakan salah satu bentuk Jinguk’i sebagaimana tema pameran seni rupa di Bentara Budaya Yogyakarta, 26 September – 4 Oktober 2025, dengan peserta 34 perupa dan dua kelompok perupa untuk merayakan ulang tahun Bentara Budaya ke 43.

Diksi jinguk’i merujuk pada kata “Bajinguk” yang merupakan pelunakan dari istilah “bajingan”. Dalam sejarah Jawa, istilah itu awalnya untuk menyebut orang pengendali gerobak sapi, tapi mengalami perubahan makna yang kini lekat sebagai makian pada sosok yang dianggap kurang ajar.

“Para seniman dipersilakan meluapkan segala unek-uneknya, seperti rasa kesal, marah, sedih, kecewa, atau melontarkan protes dan kritik,” ujar Ilham Khoiri, General Manager Bentara Budaya.

Ruang pameran pun berisi karya seni rupa yang sarat dengan narasi kritik. Perupa Ampun Sutrisno memajang karya lukis berupa 16 bentuk ayam jago sebagai simbol
petarung yang berani berkokok menyuarakan kejengkelan pada pemimpin (Jago Misuh, 2025). “Saat ini misuh ditujukan kepada pemimpin yang tidak lagi berpihak pada rakyat kecil,” kata Ampun Sutrisno.

Alit Ambara menyuguhkan citraan figur wayang yang membara dalam warna merah menyala, bertangan 20 dengan jari tengah menunjuk sebagai bahasa isyarat memaki. Ada juga bentuk kepala berupa running text antara lain Nepalkan, 17 + 8, sebagai simbol ekspresi perlawanan yang ramai muncul di media sosial pada gelombang demonstrasi memprotes pemerintah Prabowo pada Agustus 2025.

“Karya ini mereklamasi ‘misuh’ sebagai ekspresi tuntutan kepada kekuasaan dalam bentuk yang kekinian selayaknya media promosi konter seluler,” ujar Alit Ambara.

Masih dengan demo Agustus membara Kelompok Graphic Victims menampilkan karya foto emak-emak nekad memaki pemerintah di hadapan barisan polisi anti huru-hara pada aksi demo Agustus kemarin (Ekspresi Hari ini, 2025).

Polah penguasa pun jadi sasaran makian perupa. Ada penunjukan pejabat yang tidak berkompeten lewat karya lukis Bunga Jeruk berupa sosok berjas lengkap dengan kepala badut dengan tas besar di sampingnya (Negara Apa Ini, 2025). Ifat Futuh lewat metafora figur berkepala bebek (Bos Wek-Wek, 2025).

Bahkan Ledek Sukardi langsung menuding ucapan bekas Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut guru menjadi beban negara (Sri…!!!, 2025). Adapun Irwanto Letho mengangkat polah anggota DPR berjoget saat sidang DPR yang berbuah aksi demo di rumah mereka (Joget Jogetan: DICIAK Rakyat, 2025). Sementara Sriyadi Srinthil menyindir pemerintah yang menerima suap, memberi Amnesti dan Abolisi (A5UI, 2025). “Rakyat kecil yang terinjak hanya bisa menjerit dan berteriak ASUi,” kata Sriyadi.

Ihwal Ibu kota Nusantara yang dicetuskan mantan Presiden Joko Widodo dan kini dipermanis menjadi Ibu Kota Politik oleh Presiden Prabowo pun menjadi satire oleh Bayu Wardhana sebagai praktik pembangunan yang menyingkirkan alam, berupa tiga orang utan berpose di samping tulisan: DISINI AKAN DIBANGUN GEDUNG DPR/MPR.

Isu yang sama dieksplorasi Dela Widhiastuti lewat kerjasama dengan Tindes Art lewat media grafis dengan menampilkan citraan sepatu di atas teks berita media tentang isu IKN berjudul Cerita Mereka yang Tersingkir Setelah Lahannya Diambil Proyek IKN (Sepatu Keruk, 2025).

Runyamnya kondisi Indonesia saat ini digambarkan Joko Gundul Sulistiono lewat frasa Indonesia Gelap pada karya lukis berupa peta Indonesia dalam warna hitam (au ah Gelap/ black on black, 2025).

“Karya-karya itu menunjukkan seni sebagai katarsis: media untuk melampiaskan berbagai unek-unek. Jika curahan hati telah keluar, siapa tahu hati jadi lebih plong,” ujar Ilham Khoiri.■ Raihul Fadjri

Komentar