
Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Baru-baru ini mantan Presiden Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, satu penganugerahan yang sekaligus menjadikannya monumen resmi negara. Sebaliknya, orang-orang yang hilang atau tewas dalam masa Reformasi tak pernah benar-benar memperoleh monumen yang layak. “Sesekali mereka disebut Pahlawan Reformasi, namun tanpa pengakuan yang setara,” ujar Enin Supriyanto, kurator pameran bertajuk Monumen, Hantu, dan Luka di Ace House – Langgeng Art Space, Yogyakarta, 5 Desember 2025 – 16 Januari 2026.
Menurut Enin, bagi para korban pelanggaran HAM Orde Baru, sosok Soeharto yang dikenal dengan sebutan Bapak Pembangunan ini tetap hadir sebagai bayang-bayang yang menghantui hingga hari ini. “Dia adalah monumen, sekaligus hantu,” kata Enin.
Monumen, Hantu, dan Luka mempertemukan Mujahidin Nurrahman (Bandung, 1982) dan Rudy Atjeh Dharmawan (Langsa, 1982), yang sama-sama menekuni praktik memotong kertas dengan ketelitian tinggi pada pameran ini mengajukan pertanyaan penting tentang bagaimana kekuasaan dibangun, bagaimana kekerasan dikenang atau dilupakan, dan bagaimana luka bertahan dalam tubuh sosial kita. “Kertas menjadi medium untuk membuka kembali dialog tentang monumen, hantu, dan luka, tiga kata yang terus membayangi perjalanan sejarah kita.”
Keahlian mereka dalam menatah kertas saja sudah memadai untuk menjadi pusat perhatian pameran ini. “Namun karya-karya mereka tak berhenti pada keterampilan teknis; masing-masing
menyisipkan kisah, ingatan, serta pesan yang mengundang penonton untuk merenung lebih jauh setelah melewati kekaguman awal pada detailnya,” ujar Enin.
Mujahidin Nurrahman telah lama menelaah kelindan kompleks antara identitas, agama, kekuasaan, dan politik global. Pola arabesque dalam karyanya sering menjadi kamuflase yang menyelubungi formasi senjata perang atau menutupi jejak kekerasan. Arabesque adalah gaya dekorasi artistik yang menampilkan pola rumit dan saling terkait dari dedaunan, sulur, atau garis geometris yang berasal dari seni Islam yang juga muncul pada seni dekoratif Eropa.
Kini Mujahidin terinspirasi Spomenik–monumen futuristik warisan rezim Sosialis Yugoslavia–dia mengolah bentuk-bentuk geometris yang terasa monumental pada 10 karya seri bertajuk Form. “Monumen versi Mujahidin tetaplah monumen yang terbentuk dari akumulasi senjata: indah dalam struktur, gelap dalam makna,” kata Enin.
Ada struktur bentuk dengan warna latar hitam yang menonjolkan bentuk lingkaran dalam warna merah menyala dan biru (Form 47.3, 2025). Ada pula struktur bentuk plastis dalam warna putih dengan bentuk lingkaran dalam warna biru (Form 47.2, 2025).
Berbeda namun beresonansi, Rudy Atjeh Dharmawan mengolah ketakutannya pada hantu yang hadir lewat delapan karya bertajuk Burong ketika konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada medio 2000-an mencapai puncak kekerasan. Lewat kertas yang dipotong menjadi rumbai-rumbai halus, ia membangun ruang bagi sosok-sosok hantu. “Representasi rasa takut, gentar, dan trauma yang menetap dalam diri para korban,” ujar Enin.
Hantu-hantu itu bersembunyi dalam tumpukan rumbai, sebagaimana ingatan kekerasan bersembunyi dalam kesadaran manusia. Ada bentuk mahluk berekor dengan tubuh penuh tumpukan potongan kertas dalam warna putih, sementara bentuk mata mencuat dari balik tumpukan kertas dalam warna merah (Burőng Series#1, 2025). Ada pula mahluk bersayap dengan dua tangan manusia keluar dari tumpukan potongan kertas warna putih dengan bentuk wajah mencuat dari balik tumpukan kertas warna merah. Sementara di bagian bawan muncul bentuk kepala buaya dengan bentuk dua kaki burung di dekatnya (Burőng Series #7 , 2025).
“Pengalaman politik Indonesia sarat dengan monumen, hantu, dan luka kolektif yang belum sembuh,” kata Enin Supriyanto.■ Raihul Fadjri





















Komentar