Ragam Artefak Kejayaan Masa Lalu Kerajaan Majapahit Lewat Karya Seni Lukis

Bandung, dialoguejakarta.com – Situs purbakala berupa candi, patung, dan relief tak cuma dipelototi oleh para arkeolog, tapi juga mampu menarik perhatian perupa yang kemudian dijadikan subject matter pada karya lukis. Hal inilah yang dilakukan Zeta Ranniry Abidin (2003) lewat karya lukis pada pameran bertajuk Recall History Foresee Disting di galeri Orbital Dago, Bandung, 12 – 23 November 2025.

Zeta mengeksplorasi situs sejarah Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara yang berdiri dari tahun 1293 hingga sekitar 1527, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389) dengan Mahapatih Gajah Mada.

Kerajaan yang berlokasi di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur ini didirikan oleh Raden Wijaya dan memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, membentang di sebagian besar wilayah Indonesia modern, dan meninggalkan banyak peninggalan seperti candi dan karya sastra.

Kini Zeta menguak keping-keping masa lalu itu bak arkeolog menggali peninggalan sejarah di situs Kerajaan Majapahit di Trowulan, lewat tiga karya lukis utamanya. “Saya menelusuri bagaimana kisah lama membentuk identitas bangsa, khususnya masa kejayaan Majapahit. Saya menelusuri candi, artefak, hingga museum untuk memahami warisan peradaban ini,” ujar Zeta.

Dari perjalanan itu lahirlah embrio bagi pameran Recall History; Foresee Destiny. “Sebuah upaya membaca ulang sejarah dan menafsirkannya melalui bahasa visual yang lebih kontemporer, agar tetap relevan dan bisa dinikmati generasi muda.”

Melalui pameran ini Zeta mencoba menghadirkan kembali tiga sosok perempuan luar biasa Majapahit. Bagian pertama, Recall History, menampilkan tiga lukisan utama yang merepresentasikan tiga ratu Majapahit sebagai simbol perjalanan peradaban, yakni Gayatri Rajapatni (Wisdom Consciousness, 2025) yang melambangkan kebijaksanaan dan kesadaran awal.

Gayatri adalah salah satu sosok pendiri dan penuntun arah pemerintahan Majapahit, seorang perempuan bijak yang menanamkan nilai tata kelola dan keseimbangan. Ia divisualkan lewat simbol rusa, lambang keanggunan, kecerdasan, dan ketenangan dalam mengatur kehidupan.

Ada juga sosok Tribhuwana Tunggadewi (Grit Possibilities, 2025) yang menggambarkan keberanian dan daya juang dalam memperluas cakrawala kekuasaan. Tribhuwana adalah ratu pemimpin yang membawa Majapahit pada masa ekspansi besar-besaran, sosok yang penuh tekad dan visi. Simbol gajah merepresentasikan kekuatan, keberanian, dan langkah besar yang menggerakkan bangsa.

Karya lukis utama ketiga menampilkan sosok Dyah Suhita (Resilience Enlightenment, 2025) sebagai simbol keteguhan hati dan pencerahan di masa krisis. Suhita memerintah ditengah gejolak internal dan berhasil menyatukan kembali Majapahit. Simbol kuda melambangkan ketahanan dan semangat untuk terus melaju meski peradaban berada diambang perubahan.

Yang menarik, citraan sosok-sosok pada tiga lukisan utama itu seolah tersembunyi dibalik elemen blok putih sebagai lapisan visual yang menutupi sekaligus mengungkap isi lukisan. “Fungsinya sebagai portal waktu yang menghubungkan masa lalu dan masa kini,” ujar Zeta. Jika pada masa Majapahit pesan disampaikan lewat pahatan relief di batu, maka blok putih ini menjadi kanvas bagi perenungan dan pencatatan ulang untuk menyampaikan pesan lintas waktu dengan bahasa visual yang lebih kontekstual dan terbuka.

Adapun dua karya lainnya (The Story of Panji #1 & #2 ) menelusuri kembali kisah Panji yang banyak ditemukan pada relief di Candi Penataran. Garis horizontal yang membujur di tengah bidang menandai alur waktu, membagi ruang antara masa lampau dan masa kini, antara mitos dan realitas. “Cerita Panji dibaca ulang sebagai jembatan naratif yang menghubungkan peradaban kuno dengan konteks modern, menggambarkan bagaimana pesan moral, politik, dan sosial terus bereinkarnasi dari zaman ke zaman, dari propaganda visual kerajaan hingga wacana publik masa kini,” kata Zeta.

Sedang babak terakhir (Foresee Destiny, 2025) menghadirkan sisi profetik dari perjalanan ini. Karya ini bersifat interaktif. Penonton diajak menuliskan harapan dan ramalan mereka tentang masa depan Indonesia. Dalam bagian ini Zeta merujuk pada tradisi ramalan Nusantara, seperti Ramalan Jayabaya dari masa Kediri, yang menjadi simbol harapan dan peringatan bagi perjalanan bangsa. Melalui semangat serupa, Foresee Destiny menafsirkan kembali fungsi seni sebagai wahana membaca tanda-tanda zaman, menyentuh dimensi spiritual, sosial, dan politik yang selalu hadir dalam sejarah Indonesia.

Melalui Recall History dan Foresee Destiny, Zeta berupaya merangkai kembali fragmen masa lalu sebagai refleksi terhadap masa depan. “Bagi saya, mengingat sejarah bukanlah nostalgia, melainkan kesadaran bahwa untuk menatap jauh ke depan, kita perlu terlebih dahulu memahami dari mana kita berasal,” ujar Zeta.■Raihul Fadjri

Komentar