Jakarta, dialoguejakarta.com – Ketika praktek seni rupa kontemporer cenderung mengenyampingkan elemen tradisi saat mengeksplorasi bentuk dan narasi, pelukis Dewa Made Mustika justru menjadikan seni tradisional sebagai sumber karya seninya, sebagaimana yang tampak pada pamerannya bertajuk IDENTITY di Talenta Pop Up Gallery, Jakarta, 31 Oktober – 30 November 2025.
Pelukis kelahiran Bali pada 1974 ini tak melupakan tradisi budaya tanah kelahirannya di Gianyar, Bali meski kini dia menetap di Yogyakarta sejak 1994 saat mahasiswa seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Dewa Made pada 18 karya lukisnya memadukan konsep seni tradisi Bali dengan seni modern bercorak ekspresionis. “Lukisan Dewa Made Mustika ciri fisiknya tampak ekspresif goresan kuasnya kuat, liar dan responsif terhadap pemanfaatan efek yang muncul sehingga memberikan peluang terjadinya improvisasi dalam proses melukisnya,” tulis Alexandri Luthfi, akademisi seni rupa dalam tulisannya pada katalog pameran ini.
Ada sosok pria dengan gestur menari memakai pakaian tradisional Bali dengan kain poleng, kain bercorak kotak-kotak hitam putih (Jaga Irama, 2023). Ada pula barong dengan dua tangan bak gestur menari, sementara kain poleng berkibar dan semburan bercak cat dalam warna putih bertebaran yang mengesankan gestur bergerak dengan warna latar merah menyala (Garudeya, 2025). “Susunan sapuan dan cipratan catnya tumpang tindih, spontan meninggalkan jejak motif serta tekstur yang padat.”
Barong adalah sosok mitos mahluk berkepala singa dalam tradisi Tionghoa yang diserap budaya Bali dan Jawa Timur. “Konsepnya tentang kebhinekaan, multikultural terbuka terhadap semua corak seni yang ada di seluruh wilayah Nusantara,” ujar Alex Lutfi.
Dewa Made juga memunculkan sosok Wukong memegang tongkat ajaib yang dikenal dalam budaya Tionghoa sebagai Sun Wukong (Kera Sakti), sosok dewa penipu yang memiliki kekuatan super dengan kemampuannya berubah bentuk (Wukong#3, 2025).
Dewa Made yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan mengeksplorasi elemen bentuk dan narasi alam. Pada karya lukis bertajuk Pagi Lereng Merapi (2025) menghadirkan citraan puncak Gunung Merapi yang ada di Yogyakarta dengan latar depan citraan pohon yang mengesankan pohon tua dengan burung berterbangan di sekitarnya. Atau citraan guyuran air dari punggung bukit di tengah pepohonan (Jaga Mata Air, 2014).
Dia bahkan menggunakan metafora alam untuk mengulik narasi keberagaman berupa citraan pohon menjulang dengan bentuk mesjid, gereja dan candi di hamparan gedung moderen menjulang (Spirit Pohon Toleransi, 2012)
Yang juga menarik, selain menggunakan media cat minyak dengan akrilik, dia juga memakai kertas tisu untuk menghasilkan tekstur pada lukisannya, dan teknik kombinasi pisau palet dengan kuas.
Pencampuran bahan cat minyak dengan cat akrilik dan kertas tisu untuk membuat tekstur, dimanfaatkan dengan maksimal untuk menciptakan karakter yang kuat pada rupa karya. “Memanfaatkan tekstur dan efek lelehan cat, tahapannya dikontrol dengan sangat baik,” ujar Alex.■Raihul Fadjri























Komentar