Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Perhiasan bagi perempuan merupakan bagian dari praktek budaya yang tak bisa dipisahkan. Dari mulai dari cincin, gelang, anting hingga kalung. Bahkan perempuan suku Kayan Lahwi di Myanmar mengidentifikasi diri mereka melalui perhiasan permanen berupa cincin leher, yaitu gulungan dari bahan besi kuningan yang dikalungkan di leher agar leher menjadi lebih panjang.
Tradisi mengenakan gulungan panjang juga dilakukan perempuan suku Dayak Bidayuh di Desa Sungkung II, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Tradisi unik ini disebut Bahtuk yang melambangkan kecantikan dan status sosial terpandang, di mana wanita yang memakainya dianggap lebih mapan.
Bahtuk yang berupa gulungan panjang dari bahan tembaga ini mulai dikenakan sejak usia remaja (sekitar 8 hingga 15 tahun) dan tidak pernah dilepas hingga meninggal. Saat ini pemakaiannya semakin jarang dan diduga inilah generasi terakhir yang masih mempraktikkan tradisi ini.
Praktek budaya Bahtuk ini kemudian direkam lewat media foto oleh M. Adi Saputra pada 2024 sebagai dokumentasi budaya yang biasa dikenal sebagai praktek etnofotografi, satu metode menggunakan foto sebagai media utama untuk menjelaskan proses kehidupan sehari-hari, kebiasaan, seni, dan aspek budaya lainnya secara lebih mendalam.
Tapi bagi Adi Saputra pembuatan foto praktek budaya Bahtuk ini lebih sebagai upaya dokumentasi tradisi yang unik. Proyek fotografi dokumenter ini bertujuan untuk mengarsipkan secara visual fotografi para Perempuan Bahtuk di suku Dayak Bidayuh. “Proyek fotografi dokumenter ini juga dapat dijadikan sebagai informasi kepada khalayak bahwa adanya tradisi dan budaya Bahtuk,” ujar Adi Saputra, Sabtu, 1 November 2025.
Adi Saputra (2004) sebagai mahasiswa fotografi pada Fakultas Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tertarik merekam secara visual tradisi Bahtuk. Meski untuk pertama kali dia pada tahun 2023 harus melalui perjalanan yang sulit selama tujuh jam dari Pontianak, kota kelahirannya, memakai sepeda motor dengan kondisi jalan yang buruk ke Desa Sungkung II yang letaknya dekat perbatasan dengan Malaysia. “Kondisi cuaca dan jalur untuk menuju lokasi pemotretan sangat ekstrim dan jarak yang jauh di pelosok Kalimantan,” kata Adi.
Pada kunjungannya kedua untuk menggarap proyek fotografi ini di Desa Sungkung II dia hanya menemukan enam perempuan setempat yang mengenakan Bahtuk di kedua lengan dan kaki. Tak ada lagi remaja yang mengenakan Bahtuk. Dalam prakteknya lingkaran dari bahan tembaga itu dimasukkan ke lengan dari pergelangan tangan hingga sekitar 10 sentimeter ke bagian atas. Sedang di bagian kaki struktur lingkaran itu mulai dari otot paha melilit hingga bagian bawah dengkul.
Dengan gulungan tembaga melingkari tangan dan kaki itulah para perempuan beraktivitas tiap hari, mulai dari membersihkan semak belukar dengan parang di tangan hingga menjemur padi di tengah terik matahari, dari memainkan musik tradisional Gihtang hingga makan bersama dengan posisi duduk kaki selonjor karena tidak memungkinkan duduk bersimpuh dengan posisi tubuh menghimpit kedua kaki.
Menurut Adi, generasi muda sudah tidak tertarik memakai Bahtuk. “Bahtuk tetap populer di kalangan masyarakat, tapi peminat untuk menggunakan atau mewarisi tradisi Bahtuk sudah mulai hilang,” ujar Adi. Saat ini tidak ada remaja yang memakai Bahtuk. Artinya tradisi Bahtuh hanya bisa dilihat lewat sejumlah foto, diantaranya yang pernah dibuat Adi Saputra dan sempat dipamerkan di ruang Bale Black Box, Yogyakarta, 24 -27 Oktober 2025. ■Raihul Fadjri























Komentar