Sosok Ikarus dalam Upaya Meraih Mimpi Para Ikarian

Sejarah & Budaya187 Dilihat

Bandung, dialoguejakarta.com – Masih ingat sosok Ikarus (Icarus)? Legenda Ikarus berasal dari mitologi Yunani kuno tentang seorang anak laki-laki bernama Ikarus yang tewas karena terbang terlalu dekat dengan matahari memakai sayap buatan ayahnya, Daedalus. Sang ayah membuat sayap dari bulu dan lilin untuk melarikan diri dari Pulau Kreta, namun Ikarus mengabaikan peringatan ayahnya untuk tidak terbang terlalu tinggi. Akibanya, kilauan dan kebahagiaan terbang terlalu tinggi membuat lilin yang merekatkan sayapnya meleleh, menyebabkan ia jatuh ke laut dan tewas.

Kisah ini sering dimaknai sebagai peringatan terhadap keangkuhan, kepercayaan diri berlebihan, dan ambisi yang melampaui batas kemampuan manusia. Legenda inilah yang diulik perupa Alexander Chris (1999) lewat pameran bertajuk ‘Dilema Ikarian’ di Orbital Dago, Bandung, 24 Oktober – 9 November 2025.

Alexander mengeksplorasi sosok Ikarus lewat karya patung saat mengepakkan sayapnya di angkasa dalam polesan warna kuning menyala (The Projection of Icarus, 2025) dan jatuh terjerembab di permukaan bumi dalam balutan warna putih (Fall of Icarus, 2025).

Dua karya patung ini dilengkapi dengan enam karya lukis bercorak realis dengan narasi Ikarian, berwatak seperti Ikarus. “Ikarian sendiri belum tentu jatuh, tapi bagaimana mereka bermimpi dan harus meninggalkan mimpi untuk menghadapi realitas,” ujar Alexander Christ.

Ada sosok pria tua bersayap duduk di atas kursi dengan mata terpejam dan dua sayap mengepak di belakangnya dalam bilasan warna monokrom merah dan kuning. Ada pula citraan punggung sosok pria setengah badan dengan leleran warna hitam dan merah seolah mengingatkan punggung yang terlepas dari dua sayap (Apostle, 2023).

Alexander juga menampilkan empat sosok yang dia sebut Ikarian dengan label sebagai penyintas dari gairah untuk meraih mimpi mereka. “Tokoh-tokoh para penyintas itu adalah orang-orang yg mempunyai sifat Ikarian yang kuat pada dirinya masing-masing,” kata Alexander.

Dia menggambarkan sosok-sosok penyintas itu lewat potret diri mereka dalam warna sendu, monokrom biru. Ada sosok lelaki berambut gondrong mengenakan kacamata gelap sedang mengisap rokok (Para Penyintas #1, 2025. Ada pula sosok perempuan bertato di lengannya yang mengesankan Generasi Z dengan dua headset menutup telinganya bak sedang asik dengan dunianya sendiri (Penyintas #5, 2025).

Ada juga sosok pemuda berambut gondrong memakai topi terbalik berhiaskan kacamata dengan bibir tersenyum (Penyintas #2, 2025). Semua sosok penyintas ini menjadi sosok anonim dengan mata yang tertutup sapuan kuas warna merah. “Orang-orang yang secara personal aku kenal,” ujar Alexander.

Dari penggambaran itu, kita mungkin bisa menebak-nebak, tokoh semacam apa yang tampak di potret itu. “Caranya berpakaian, gesturnya, semua tampak familiar.
Mereka adalah orang-orang yang ada dalam keseharian kita,” ujar Heru Hikayat, kurator pameran ini.■Raihul Fadjri