Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Bagaimana seniman patung menggambarkan ekpresi wajah pejuang? Seniman patung Yulhendri (1964) cukup menampilkan narasi pejuang lewat bentuk kepala seorang pria dari bahan aluminium dengan bentuk wajah ekspresif, gestur mulut bak orang sedang menahan kemarahan, tatapan mata tajam, kening berkerut dan rambut pajang berkibar ke atas (Jejak Wajah Pejuang, 2025).
Karya patung Yulhendri (1964) ini merupakan satu dari 14 karya seniman patung anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) dan enam karya seniman patung undangan dalam pameran bertajuk ‘Journey: Paraliyan’ di Jogja Gallery, Yogyakarta, 24 Oktober – 2 November 2025.
Judul pameran ini memakai frasa paraliyan yang berasal dari dua kata—para (jamak atau melampaui) dan liyan (sang lain, others). Maknanya, melalui medium patung, para seniman mengeksplorasi beragam metode berkarya dan gagasan yang menyoroti perbedaan, baik dari segi material, teknik, konsep artistik, maupun narasi.
“Karya dalam pameran ini tidak hanya menjadi representasi visual dari perbedaan, tetapi juga sebagai ruang dialog tentang bagaimana kita memahami liyan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Rain Rosidi, kurator pameran ini.
Perbedaan muncul dari berbagai aspek, dari eksplorasi elemen teknik, eksplorasi elemen kebentukan hingga narasi karya. Lutse Lambert DM membuat bentuk laba-laba merah berkaki panjang terperangkap dalam bentuk bola akrilik. Karya ini menarasikan individu yang berjuang untuk menemukan tempat di dalam dunia yang kompleks (Jaring Paraliyan, 2025).
Besi berkarat di sekitarnya mencerminkan tantangan dan batasan yang sering kali muncul akibat perbedaan, tetapi juga menunjukkan bahwa keindahan dapat ditemukan dalam ketidaksempurnaan dan kerumitan. “Karya ini mengajak penonton untuk merenungkan bagaimana kita dapat menerima dan
merayakan perbedaan, serta bagaimana identitas kita dibentuk oleh pengalaman dan interaksi dengan yang lain,” ujar Lutse Lambert.
Pematung Valentinus Rommy mengangkat narasi berupa perbedaan dirinya dengan orang lain, satu isu yang masih menjadi masalah di negeri ini: mayoritas dan minoritas etnis dan keyakinan agama. Valentinus menampilkan sosok berwajah bocil yang sekujur tubuhnya tertutup lembaran berwarna hitam gelap yang juga berfungsi menopang tubuhnya (Do Smallthing With Love, 2025).
“Aku berbeda dengan sekitarku. Caraku berpikir berbeda. Kulitku, tubuhku berbeda dengan yang lain. Pemahamanku, keyakinanku berbeda,” ujar Valentinus. “Aku mayoritas. Aku minoritas. Bagaimana jika aku merasakan menjadi Minoritas?”
Narasi sosial, ekonomi dan politik diangkat pematung Ambrosius Edi Priyanto yang menggambarkan kerakusan penguasa ekonomi yang dipelihara penguasa politik. Edi Kirik, panggilan akrabnya, mengeksplorasi narasi kerakusan itu lewat karya patung dalam warna merah menyala berupa sosok figur berkepala anjing mengenakan jas merah, celana merah, dasi merah berhiaskan logo mata uang dolar Amerika dalam warna kuning emas sebagai mana warna bajunya.
Tangan kanan memegang payung merah simbol perlindungan politik, sedang tangan kiri menghela deretan gerobak merah dengan sembilan karung berwarna kuning emas sebagai simbol hasil menguras sumber ekonomi yang berlimpah ruah (Musim Panen, 2025). “Dengan cara sendiri memperoleh hasil,” ujar Edi Kirik.
Adapun pematung Dunadi (1960) menarasikan aspek budaya tradisional yang tersingkirkan lewat karya patung berupa lima figur dengan penuh energi bergerak mengapit kuda lumping (kuda kepang), yang merupakan seni tradisi asal Ponorogo, Jawa Timur (Kuda Lumping, 2025).
“Kuda lumping ini adalah simbol dari warisan yang belum punah, tapi nyaris menuju punah. Tugas kita bukan sekadar mengingat tapi menghidupkan kembali,” ujar Dunadi.
Narasi karya patung Dunadi ini seolah mengingatkan ihwal kondisi seni patung yang hanya muncul sesekali dalam ranah pameran dengan durasi yang relatif singkat. Tugas seniman patung dan organisasinya API lah untuk tetap menghidupkan aura seni patung dalam pentas seni rupa negeri ini.■Raihul Fadjri





























Komentar