Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Yogyakarta punya sejumlah kegiatan pameran seni rupa yang diselenggarakan secara rutin dengan jumlah peserta hingga puluhan perupa. Salah satunya pameran berlabel Nandur Srawung (bahasa Jawa: menanam kebersamaan) yang hingga tahun ini sudah mencapai edisi ke-12. Pameran bertajuk Eling | Awekening ini diikuti 75 perupa, berlangsung di Gedung Societet Militer, komplek Taman Budaya Yogyakarta, 9 – 18 Oktober 2025.
Tema Eling dan Awakening dimaknai sebagai kesadaran penuh (eling) dan kesadaran baru (awakening). “Upaya membuka ruang bagi pertanyaan mendasar bagaimana membangun kesadaran bersama, hidup berdampingan dengan teknologi dan memahami kembali relasi manusia dengan alam di tengah krisis ekologi,” tulis tim kurator dalam teks kuratorial. Satu basis berkarya yang sangat bebas dan terbuka diterjemahkan ke dalam narasi masing-masing karya.
Dengan konsep kuratorial singkat itulah perupa mengeksplorasi elemen rupa ke dalam karya dua dimensi dan tiga dimensi. Yang menarik pada pameran ini jumlah karya dua dimensi sama banyaknya dengan karya tiga dimensi. Sejumlah karya mengangkat isu sosial. Ada sejumlah citraan wajah yang muncul dari cor-coran konstruksi beton yang mengingatkan pada tragedi rubuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, dengan korban 160-an santri tertindih material bangunan pada 29 September 2025 (Evram Andika, Tumbal Proyek, 2025).
Ada pula karya patung kinetik dengan narasi feminisme berupa tubuh perempuan yang tidak utuh dengan tubuh bagian dadanya yang tersisa hanya berupa citraan bentuk tulang rusuk yang bergerak (Zalfa Zahira, Ayanami, 2025). “Karya ini menampilkan sosok wanita yang telah direnggut habis bagian yang paling berharga dari dirinya,” ujar Zalfa.
Dengan narasi feminis yang sama dieksplorasi justru oleh perupa pria, Sugijo Dwiarso, yang melukis sosok perempuan dalam posisi terjatuh dengan salah satu tangan menyangga tubuhnya. Dua tangan lain memegang bunga dan senjata api (Hopoine, Perempuan Pahlawan, 2024).
“Sosok perempuan, gender subordinat, dalam tatanan sosial yang acap dicap sebagai sesuatu yang lemah, diremehkan, namun sejatinya menyimpan keluwesan dan kelenturan yang sanggup merampungkan bermacam hajat betapapun beratnya,” ujar Sugijo.
Sebaliknya Hendra Blankon menghadirkan karya patung berupa sosok Superman dalam warna biru dalam posisi sedang berlari sembari memegang payung berupa susunan benda bulat bertulisan: Prosperity (Lelaku, 2024). Adapun Aphrodita Wibowo menghadirkan sosok Batman dengan wajah tersenyum duduk dengan tangan memegang rokok di hadapan perempuan dan lelaki bak memohon sesuatu padanya yang mengingatkan pada citraan figur pada lukisan era seni rupa klasik (Desir, 2025)
Sementara itu fenomena grafitasi justru dijadikan narasi tentang Ketuhanan oleh Rejo Arianto lewat karya patung berupa pria bertopeng tokoh wayang yang mengenakan sarung dalam posisi kepala di bawah teronggok di atas gumpalan batu dengan posisi kedua tangan terentang bak sedang menjaga sedotan gaya grafitasi bumi (The Father, 2025). “Eling pada gusti, eling pada tujuan hidup yang hakiki,” ujar Rejo.
Karya lukis Muhammad Yusuf Siregar bak menutup narasi besar Eling dan Awakening pameran Nandur Srawung ini berupa potret sejumlah figur yang dikenal sebagai aktivis, antara lain Marsinah, aktivis buruh pabrik di Surabaya yang dibunuh pada 8 Mei 1993, Wiji Tukhul, penyair yang juga aktivis buruh dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diculik, hingga kini hilang tak tentu rimbanya selama 27 tahun sejak reformasi 1998.
Ada juga aktivis hak azasi manusia Munir Said Thalib yang tewas diracun arsenik dalam perjalanan naik pesawat terbang dari Jakarta menuju Amsterdam pada 2004. “Gerakan reformasi telah menumbangkan 32 tahun pemerintah totaliterian Presiden Soeharto. Namun seperti adagium: revolusi memakan anaknya sendiri,” ujar Muhammad Yusuf Siregar. Dari kesadaran penuh (eling) muncul kesadaran baru (awakening), begitu seterusnya proses berjalan.■Raihul Fadjri





























Komentar