Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Seminar yang digelar ASPI – Across Species Project Indonesia (Inisiatif yang fokus pada kesejahteraan hewan yang diternakkan di Indonesia) membeberkan, selama scoping work di dua provinsi–Yogyakarta dan Jawa Timur, khususnya Blitar—pada Februari– Maret 2025, ASPI menemukan fakta ada indikasi awal bahwa telur dari sistem kandang baterai memiliki cangkang lebih tipis dibandingkan telur dari sistem bebas sangkar (cage-free).
“Porinya pada cangkang telur yang tipis memungkinkan pertukaran gas dan air, sekaligus menjadi jalur masuk bakteri, misalnya bakteri Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, dan Escherichia coli,” ujar drh. Agung Ludiro, Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, sebagaimana yang dikutip pada rilis seminar ASPI, Jumat 19 September 2025.
Maka, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penerapan kesejahteraan hewan, khususnya pada bebek petelur, diperlukan komunikasi dan edukasi yang berkelanjutan dan berkesinambungan dari berbagai pihak. “Baik antara kami di pemerintah, dengan lembaga-lembaga, masyarakat pada umumnya, dan khususnya pada insan peternakan, sebagai pelaku usaha peternakan itik petelur,” kata Agung Ludiro.
ASPI menggelar seminar bertajuk “Masa Depan Peternakan Itik Petelur: Kesejahteraan Hewan dan Peluang Pasar” di Perpustakaan Grhatama Pustaka, Yogyakarta, Kamis 18 September 2025.
Saat ini tidak hanya ayam petelur yang dipelihara dalam sistem kandang baterai, melainkan juga bebek petelur. Hal ini merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan yang menjadi sorotan. “Ada sejumlah isu kesejahteraan dalam peternakan itik petelur, mulai dari sistem kandang dan ruang gerak yang terbatas, ketiadaan akses air untuk mandi atau berenang, hingga kualitas udara,” ujar Dhiani Probhosiwi, Co-Executive Director ASPI.
Walaupun tidak menjadi sistem yang dominan seperti pada peternakan ayam petelur, kini semakin banyak peternak bebek petelur yang menggunakan sistem pemeliharaan kandang baterai.
Kandang baterai merupakan kandang bersekat dan biasanya dibuat bertingkat, yang menampung satu hingga dua bebek dalam masing-masing sekat. Pada sistem ini, bebek petelur memiliki ruang gerak tak lebih besar dari ukuran iPad atau laptop 13 inci. Akibatnya, bebek tak bisa mengekspresikan perilaku alami mereka, seperti bersarang, preening dengan maksimal, merentangkan sayap seutuhnya, atau sekadar berjalan dan bergerak dengan leluasa.
“Banyak faktor penting untuk diperhatikan karena kesejahteraan hewan tidak hanya diukur dari kecukupan pakan dan produktivitas semata,” kata Dhiani Probhosiwi.
Dua pembicara lainnya, Dr. Ir. Sri Sumarsih , SPt., MP., IPM dari Universitas Diponegoro membawakan materi berjudul “Formulasi Pakan Efisien: Pemenuhan Nutrisi untuk Kesejahteraan Itik Petelur” dan Prof. Dr. drh. Pudji Astuti, M.P., salah satu inspektur di Indonesia dari Humane Farm Animal Care/Certified Humane®, membawakan materi berjudul “Memahami Tren Pasar dan Peluang Sertifikasi dalam Peternakan Itik Petelur”.
Diharapkan, acara seminar ini bisa menjadi awal yang baik dalam berbagai upaya selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan bebek petelur. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, seperti peternak, pelaku usaha, pemerintah, organisasi perlindungan hewan, dan konsumen, untuk mewujudkan bebek petelur yang lebih sejahtera.■ Raihul Fadjri























Komentar