Mengolah Tubuh Menjadi Narasi Personal Sebagai Pengalaman Visual

Sejarah & Budaya675 Dilihat

Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Tubuh manusia adalah subject matter yang populer dieksplorasi dalam praktek seni rupa moderen maupun kontemporer. Lewat bentuk tubuh, perupa berbicara apa saja, baik ihwal estetika tubuh maupun makna sosial tubuh. Adalah Restu Ratnaningtyas (1981), perupa yang mengeksplorasi ihwal tubuh dengan makna yang berlapis-lapis, baik makna personal maupun maksa sosial pada pameran bertajuk 24/7 Bodies di Ace House – Langgeng Art Space, Yogyakarta, 12 September – 17 Oktober 2025.

Makna 24/7 Bodies pada judul karya ini adalah tubuh yang tak pernah berhenti bergerak dalam waktu 24 jam setiap pekan. “Tubuh Restu adalah cermin tubuh kita semua. Tubuh-tubuh yang dijaring mesin, terikat algoritma, dan terperangkap dalam industri yang menuntut kerja tanpa henti, bahkan di saat kita tidur sekalipun,” ujar Arham Rahman, kurator pameran ini.

Tubuh-tubuh Restu muncul sebagai fragmen yang ditambal, ditarik, dijahit kembali, atau sekadar isyarat yang dibiarkan menggantung di atas kain, menyelusup di sela-sela kabel, maupun ruang mekanis yang keras.

Ada sepasang kaki yang disulam dengan benang di atas kain bernuansa oker dengan tulisan di bawahnya: I am not a robot (Dehuman, 2025). Ada juga figur kepala dengan wajah yang terhapus (Manunggal #9, 2025), juga dua potong tangan yang di dalamnya terisi perangkat USB dengan jari tangan bersentuhan di atas tubuh seekor burung (Manunggal #4, 2025).

Semua ini menandai kegelisahan Restu tentang batas tubuh manusia: mata yang perlahan kehilangan ketajaman, ritme kerja mulai melambat, dan proses kreatif yang membutuhkan lebih banyak energi ketimbang kondisinya di masa lalu.

“Soal-soal itu lalu menjadi pusat pengalaman visual yang dihadirkan oleh Restu,” kata Arham.

Menurut Arham, kita hidup di dunia yang tak pernah berhenti bergerak. Teknologi digital, internet, dan kapitalisme global membentuk ritme 24/7: kerja, komunikasi, dan konsumsi yang berlangsung secara terus-menerus, siang dan malam, tanpa jeda, tanpa ruang untuk sejenak mengambil jarak.

“Dalam keadaan semacam ini, tubuh manusia dipaksa menyesuaikan diri dengan tempo mesin yang dingin, terukur, dan nyaris mustahil dihindari,” ujarnya.

Pameran 24/7 Bodies menampilkan karya Restu Ratnaningtyas yang
menangkap pengalaman itu dengan menjadikan tubuh sebagai pusat kegelisahan, ruang kontemplasi, serta jejak kerja yang terus berhadapan dengan ritme mesin.

“Melalui lukisan, drawing, keramik, dan instalasi tekstil, Restu menyajikan tubuh tidak sebagai sesuatu yang benar-benar utuh,” kata Arham.

Tubuh yang disodorkan Restu lebih sebagai fragmen yang terus- menerus terurai. Kita melihat citraan potongan wajah yang terperangkap dalam kotak (Tiga, 2025), figur jungkir balik di antara benda-benda lain (Manunggal #8, 2025), serta kumpulan bentuk tangan yang keluar dari bungkus yang menyerupai bentuk kepala hewan dengan dua mata di sisi kiri dan kanan (Performative Creature, 2025).

Berbagai komposisi bentuk itu saling bertumpuk menghasilkan bentuk-bentuk sureal yang terasa sangat personal sehingga tidak mudah dipahami. “Bentuk-bentuk tersebut berfungsi sebagai metafora tentang tubuh yang terus bernegosiasi dengan waktu, usia, memori, serta tuntutan produktivitas yang tidak pernah mengenal kompromi,” ujar Arham Rahman.■Raihul Fadjri

Komentar