Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Pengangguran jadi hantu bagi lulusan perguruan tinggi, apalagi ketika saat ini kondisi ekonomi sedang tidak bagus. Mereka yang baru saja diwisuda menjadi sarjana, situasi aman sebagai mahasiswa tercabut ketika berlangsung proses masuk ke dunia nyata sebagai pencari kerja.
Bahkan bagi sarjana seni rupa yang bisa menciptakan pekerjaannya sendiri sebagai pelukis pun harus menghadapi situasi sulit ketika pasar seni rupa juga amblas saat situasi ekonomi buruk seperti saat ini, dan mereka baru masuk dalam kancah praktek kreatif seni rupa sebagai profesi. Ada ketakutan dan ketidakpastian dalam langkah mereka menapaki jalan hidup baru.
Hal inilah yang dialami Amalia Firdausi yang baru saja meraih gelar sarjana dari jurusan seni rupa Institut Seni Indonesia. Dalam situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, Amalia menggelar pameran tunggal bertajuk Threshold di Indieart House, Yogyakarta, 30 Agustus – 13 September.
Threshold dimaknai sebagai fase transisi kehidupan Amalia, dari kehidupan mapan sebagai mahasiswa ke kehidupan yang belum jelas bentuknya ketika dia memutuskan menjadi seniman profesional. Situasi merasuk dalam proses kreatif Amalia saat dia menyiapkan 20 karya lukis untuk pameran tunggal ini.
Amalia menampilkan citraan sosok perempuan dalam berbagai ekspresi wajah pada karya lukisnya yang diimbuhi dengan bentuk lanskap dan berbagai bentuk bunga hingga bentuk rumah sebagai metafora dalam narasi karya lukisnya.
Ada potret perempuan dengan wajah pada bagian hidung dan kening menghitam. Tangannya memegang beberapa tangkai bunga, sementara di bagian belakang terhampar lanskap berupa bentuk pegunungan dan hutan yang diterangi cahaya matahari (Becoming Her, 2025).
“Ini adalah potret seseorang yang sedang menyeberangi batas usia muda, membawa serta keindahan dan ketakutan dalam hidupnya,” ujar Bambang Toko Witjaksono, kurator pameran ini yang juga dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.
Ada juga potret perempuan dengan wajah muram memegang bunga matahari, sementara di bagian belakang penuh dengan bentuk bunga matahari dan sejumlah figur. “Karya ini menangkap ketegangan dalam perjalanan hidup Yusi (panggilan akrab Amalia Firdausi), antara dorongan untuk terus berjalan dan dorongan untuk menyerah, antara harapan akan esok yang lebih baik dan kegamangan yang mengguncang saat ini,” kata Bambang.
Pada karya bertajuk “A Stillness Beside My Pain” (2025) Yusi, menggambarkan sosok perempuan tergolek seolah kelelahan, sementara di belakangnya ada sosok perempuan lain di tengah hamparan lanskap bunga matahari. “Sosok utama Yusi yang sedang tergolek, menahan beban yang tak diucapkan, wajahnya penuh luka, dan matanya memohon tanpa suara.”
Ada juga sosok perempuan dengan ekspresi wajah seperti orang terkejut berada di antara sejumlah figur yang merepresentasikan pergulatan batin dan keberanian seorang Yusi dalam memilih jalan hidup yang tidak umum, menapaki dunia seni rupa (Treading the Unseen Trail, 2025).
“Bukan sekadar narasi tentang seni sebagai profesi, tetapi tentang keberanian untuk mendengarkan suara hati dan melangkah di jalur yang tidak selalu terlihat oleh dunia namun sangat nyata bagi jiwa yang menjalaninya,” ujar Bambang.
Bagi Yusi, seni tak harus menjawab, tapi mampu mengajak untuk merasakan, merenung, dan menemukan makna dalam diam. “Karya saya adalah suara yang lahir dari keheningan. Suara yang mungkin lirih, namun jujur dan terus berusaha di dengar,” katanya.■Raihul Fadjri





















Komentar