Meretas Enkripsi Kunci Estetika Ruang Visual Karya Seni Rupa

Sejarah & Budaya424 Dilihat

Yogyakarta, dialoguejakarta.com – Pameran seni rupa tiga dimensi selalu menarik. Selain karena jarang berlangsung, karya tiga dimensi juga memberi ruang visual yang lebih dalam dan luas secara riil kepada penonton saat menikmati setiap inci eksplorasi estetiknya. Hal ini yang tampak pada karya tiga dimensi yang dipajang pada pameran bertajuk “Meretas: Enkripsi” di Sangkasa Gallery, Yogyakarta, 30 Agustus – 28 September 2025.

Pameran ini menghadirkan 12 karya tiga dimensi perupa Abdul J. Nugroho, Ajeng Pratiwi, dan Febri Anugerah. Mereka mengolah materi tanah liat menjadi karya keramik untuk menghasilkan karya tiga dimensi dengan mengeksplorasi narasi bentuk.

Abdul J. Nugroho misalnya, membuat karya patung dari tanah liat berupa susunan bentuk buku tebal yang terkesan buku usang. Ada sosok bercorak animasi berupa mahluk berkaki empat dengan dua tanduk di kepalanya yang berbentuk bulat dalam posisi berdiri di atas tumpukan bentuk buku itu (The Journal, 2025). Adul tidak cuma membuat patung, tapi juga membuka ruang tafsir. “Karya Abdul menggoyang kenyamanan dan menantang logika berfikir,” kata Achmad Fiqhi, kurator pameran ini.

Adapun Ajeng Pratiwi mengeksplorasi energi transendental saat jasad sudah sudah terbaring dalam peti mati akibat kekerasan yang disimbolkan dengan bentuk dua tangan dalam posisi seperti orang sedang berdoa, sementara tebaran peluru senjata api di bagian bawah peti mati (Opresi, 2023). “Ajeng memilih pendekatan yang lebih konfrontatif terhadap ruang dan tubuh,” ujar Achmad Fiqhi.

Ajeng juga mengeksplirasi narasi kekerasan terhadap kebebasan lewat bentuk dua tangan yang terikat rantai besi dan masih dibebani dengan kungkungan bentuk simbol cinta yang tajam dari jalinan kawat berduri (Bahala, 2025).

Adapun Febri Anugerah mengeksplorasi narasi lingkungan dengan menggunakan bahan daur ulang berupa plastik bekas untuk karyanya berupa bentuk pohon tanpa daun berdiri di atas bentuk seperti tumpukan hewan melata (Bernaung, 2025). “Febri menyuarakan alam dan sejarah yang diabaikan,” kata Achmad Fiqhi.

Masih dengan narasi lingkungan Febri menyusun deretan bentuk burung dalam posisi sayap mengepak dengan komposisi yang tersusun rapi (Pesan dari Apa yang Tampak, 2025).

Ketiga perupa ini lewat karya mereka seperti menebar simbol yang dalam dunia digital disebut enkripsi. Penonton berusaha menafsirkan lewat praktek yang juga dikenal dalam dunia digital sebagai upaya meretas atau menembus sesuatu yang tidak mudah dibaca karena ruang terkunci oleh kode, dilapisi sandi, atau dilindungi sistem.

Melalui karya patung dan eksplorasi visual tiga dimensi mereka tidak sekadar mencipta objek, tapi juga menyisipkan simbol, narasi, dan refleksi personal yang bisa dibaca ulang, ditafsir ulang, bahkan dipertanyakan oleh publik. “Di sini para seniman melakukan enkripsi pengalaman dan pemikiran mereka ke dalam bahasa rupa,” ujar Achmad Fiqhi.■Raihul Fadjri

Komentar