Autisme Tidak Halangi Ekspresi Seni Rupa Lewat Media Seni Lukis

Sejarah & Budaya816 Dilihat

Yogyakarta – dialoguejakarta.com – Di tengah hiruk pikuk pameran seni rupa kontemporer di Yogyakarta, empat penyandang autis menggelar pameran karya seni lukis di Ruang Dalam Art House, Yogyakarta, 23 – 29 Agustus 2025. Pameran bertajuk “Hanya Berbeda dan itu Indah” ini memajang karya lukis Anugerah Fadly, Raphael Kason, Reynaldi Kristian, dan Sandy Dalman.

Judul pameran itu mengesankan empat seniman penyandang autis ini berbeda dengan seniman lain yang sedang merayakan “Lebaran Seni Rupa” di Yogyakarta. Tapi perbedaan itu tidak membuat mereka surut, sebaliknya tetap menekuni bidang seni rupa, dalam hal ini seni lukis, sebagai profesi dan sekaligus sebagai terapi seni.

Penyandang autis adalah individu dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autisme, suatu kondisi perkembangan sistim syaraf (neurologis) yang memengaruhi kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, serta menunjukkan perilaku terbatas dan berulang-ulang. Ciri-cirinya meliputi kesulitan memahami dan berbahasa, kesulitan membangun hubungan sosial, dan berperilaku repetitif.

Penyandang autis juga mengalami gangguan komunikasi dan interaksi sosial, antara lain kesulitan memulai atau mempertahankan percakapan, sulit memahami bahasa isyarat misalnya menunjuk atau melambai, asyik dengan dunianya sendiri, dan sulit memahami perasaan orang lain. Autisme juga sensitif terhadap cahaya, suara, atau sentuhan, dan tidak merespons rasa sakit.

Dalam situasi semacam itulah empat penyandang autis menghasilkan karya seni lukis. Anugrah Fadly (1998) dengan gaya ekspresionis dalam warna posterik mengeksplorasi narasi politik, sosial, dan lanskap heritage.

Pada karya lukisnya bertajuk “Pertahanan Ibu Pertiwi” dia menghadirkan citraan peta Indonesia secara ekspresif dengan lambang negara Garuda Pancasila, bentuk tank militer, bendera Merah Putih dan teks Proklamasi. “Ambisi untuk mempertahankan NKRI dari hal yang tidak di inginkan. Negara kita memiliki pertahanan dan ketahanan yang jauh lebih kuat,” ujar Anugerah yang menyandang sarjana senirupa ISI Yogyakarta dan program S2 di Universitas Negeri Yogyakarta.

Masih dengan narasi pertahanan, Reynaldi Kristian Nugroho (1998) melukiskan momen empat pesawat tempur TNI AU menyerang penjahat di hutan untuk membebaskan sandera.

Karya lukis Raphael Jason Imanuel (1999) berupa eksplorasi bentuk animasi, antara lain menghadirkan tokoh-tokoh super hero. Pada karya lukis berjudul “S & MG” dia menghadirkan citraan dua figur, salah satu figur mengenakan baju biru dengan logo mirip tokoh Superman dalam warna merah dan kuning. “Melukis bukan sekadar aktivitas kreatif, tapi juga cara untuk mengekspresikan dunia dalam pikiran,” kata Raphael.

Adapun Sandy Salman Wahyudi (22 tahun) mengeksplorasi karya lukis bergaya dekoratif berupa objek tunggal dengan berbagai jenis hewan dan tanaman. Dia melukis sosok burung hantu berhiaslan bulu dalam berbagai warna bertengger di dahan pohon dalam kegelapan malam, bebek mengenakan mahkota, kupu-kupu, dan burung merak. “Melalui seni saya menyampaikan emosi yang sulit diungkap lewat kata-kata,” ujarnya.

Autisme dan seni memiliki hubungan yang erat dan bermanfaat. Seni menjadi sarana ekspresi diri non-verbal, mengurangi stres, meningkatkan koordinasi dan kepercayaan diri, serta membantu individu autis terhubung dengan orang lain.

Selain itu, seni juga dapat mengembangkan potensi bakat unik pada individu autis, seperti dalam musik dan seni visual, serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang spektrum autisme.

Anak autis sebenarnya ingin mengutarakan pendapat sesuai dengan imajinasi dengan dasar sebagai terapi. “Kadang komunikasi yang dibangun dengan orang lain tidak dapat dipahami seluruhnya, karena hambatan bicara, atau ekspresi yang berbeda sehingga diperlukan ruang berbicara sendiri sebagai ekspresi diri,” ujar Hajar Pamadhi, kurator pameran ini. ■Raihul Fadjri

Komentar