Yogyakarta.dialoguejakarta.com – Ruang Museum Taman Pintar Yogyakarta dipenuhi rombongan pelajar untuk melihat dan menikmati sejumlah wahana yang berisi tentang ilmu pengetahuan, Rabu 25 Juni 2025. Salah satu materi yang dipamerkan dalam museum ini adalah lukisan yang tak biasa karya seniman asal Jerman Franziska Fennert (1984) yang kini bermukim di Yogyakarta sejak 2013.
Karya ini menjadi istimewa karena dibuat dari materi sampah dalam komposisi warna coklat, kuning, hijau, putih dan pink terdiri dari bagian sisi depan dan belakang. Pada karya di bagian depan, ada citraan seorang pria yang mengenakan baju lurik. Di bagian tubuh pria nampak ada beberapa lengkungan yang merupakan simbol mata. Di tangan kirinya ada bentuk ular yang melilit, sementara berbagai bentuk fauna dan flora mengelilinginya dengan sentuhan citraan bertekstur (Cosmocentric Human, 2024).
Adapun di bagian belakang, ada gambar tangan dari tiga orang yang saling menggenggam. Di bagian tengah genggaman tersebut ada lili berwarna putih sebagai simbol ketulusan. Di bagian atas genggaman tangan itu ada citraan burung merpati sebagai simbol perdamaian.
Franziska menggarap narasi lingkungan pada karyanya, khususnya dalam penanganan limbah dengan melakukan salah satu aspeknya yakni reuse (pemanfaatan limbah). Materi plastik bekas sebanyak 150 kilogram yang berasal dari delta Sungai Opak dan pantai Baros di Bantul, Yogyakarta, itu dia sortir, dicacah, dilelehkan, dipres menjadi ubin dan kemudian disatukan menjadi panel dalam format besar melalui proses pemanasan.
Kemudian, dia menggunakan bor tuner untuk mengikis ubin itu sehingga menciptakan dimensi dengan bentuk yang sesuai desain yang telah dibuatnya. Setelah itu dia pahat dan dipoles dengan warna berbasis polimer yang mengandung unsur plastik dan karet.
Hasilnya, karya seni rupa yang sekaligus sebagai ekspresi peduli terhadap lingkungan. “Saya ingin mengajak masyarakat untuk mengolah sampah menjadi karya seni yang memiliki nilai ekonomi,” katanya.
Karya dua dimensi ini menjadi istimewa ketika Daerah Istimewa Yogyakarta hingga kini belum terbebas dari masalah sampah sejak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Piyungan ditutup pada 1 Mei 2024. Padahal tiap hari TPA Piyungan diguyur 1.366,79 ton sampah.
Setahun telah berlalu tapi masalah sampah tidak kunjung terselesaikan oleh pemerintah. Warga masih membuang sampah sembarangan ke ruang publik. Tak heran masih muncul spanduk peringatan agar tidak membuang sampah di satu tempat seperti spanduk yang dipasang masyarakat di areal persawahan di Sleman, Yogyakarta, yang berisi tulisan berbau kejengkelan:
BUTUH DANA CEPAT?
TANGKAP PELAKU BUANG SAMPAH LIAR, ANDA KAMI BAYAR.
Dalam rangka itu pula Franziska pada 2020 memprakarsai pembangunan pusat seni dan ekonomi kreatif. Letaknya 200 meter dari tempat pembuangan sampah Piyungan, Yogyakarta. Bangunan ini , kemudian berkembang menjadi Monumen Antroposen. “Tujuannya untuk mengubah masyarakat global dalam hal ekonomi sirkular yang berorientasi sosial dan ekologis yang menghormati leluhur,” ujar Franziska.
Monumen Antroposen dirancang sebagai karya seni di ruang publik dengan bentuk yang meruncing ke atas. “Seperti gunung yang menjulang ke ranah ilahi dan menawarkan ruang untuk terhubung dengan para leluhur,” ujarnya.
Pengunjung dapat berjalan mengitari bangunan di tiga lantai sembari melihat relief yang dirancang seperti buku batu dengan bata yang terbuat dari plastik tua yang dipadatkan. Di dalam bangunan ini terdapat ruang seluas 100 meter persegi yang dapat digunakan untuk acara budaya dan pendidikan.
“Monumen ini sebagai ruang refleksi manusia abad 21,” kata Franziska Fennert.■ Raihul Fadjri





















Komentar