Yogyakarta.dialoguejakarta.com -Bagian depan bekas kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta yang kini menjadi Jogja National Museum-JNM, dipadati pengunjung saat pembukaan pameran tahunan ARTJOG yang berlangsung pada 20 Juni 2025 hingga 30 Agustus 2025.
Antrian pengunjung mengular hingga 20 meter dari depan loket untuk membeli tiket masuk seharga Rp 80 ribu untuk dewasa dan Rp 50 ribu untuk anak-anak. “Ada 3000 pengunjung saat pembukaan,” ujar Dinar Nur Zaky, Narahubung Media ArtJog 2025.
Perhelatan seni rupa tahunan ini selalu dinanti-nanti publik seni rupa. Pada ArtJog 2024 saja selama 63 hari sebanyak 90 ribu pengunjung memadati tiga lantai gedung JNM.
Pameran yang diikuti 47 perupa ini selain memamerkan karya seni lukis, juga karya seni patung, seni instalasi, dan seni pertunjukan. Karya peserta pameran mengacu pada tema Motif: Amalan sebagai tindakan untuk membaca ulang praktik dan fungsi karya seni, selain mengeksplorasi elemen estetik, sementara fungsi seni dipertanyakan. Makna amalan pada tema ini tak hanya terbatas pada pengertian pahala, melainkan laku praksis seniman pada konteks estetika, sosial, politik dan aspek lain. “Dengan inilah karya seni bisa dipandang sebagai ‘hadiah’ untuk kebaikan hidup di luar kalkulasi laba-rugi yang kerap tak bisa ditakar nilainya,” ujar kurator ARTJOG 2025, Hendro Wiyanto.
Pengunjung pameran disambut ruang gelap berisi karya seni instalasi karya seniman patung Anusapati (1957) dengan menggunakan material kayu bekas sebagai refleksi atas isu kerusakan lingkungan (Pohon/ Kayu, 2025). Di tengah ruangan terbentang rel kereta api yang di atasnya ada lori berisi tumpukan batu berukuran kecil, sementara di bagian atap bangunan berjuntai jejeran akar pohon dengan batang kayu yang sudah mengering menembus atap bangunan. Di antara ruang tertutup dan sela akar dan pepohonan, terdengar suara tanah, kayu, serangga, logam, air, dan angin.
Anusapati menggarap karya instalasi dari berbagai material kayu bekas ini sebagai refleksi atas isu kerusakan lingkungan. “Krisis lingkungan hidup seluas buana akibat eksploitasi besar-besaran sumber-sumber alam seperti hutan dan tambang,” ujar Anusapati.
Dengan semangat pemanfaatan barang bekas juga pasangan Evan Diyananda dan Attina Nuraini menggarap proyek seni REcycle-EXPerience dengan menghadirkan karya berbentuk robot berukuran besar yang disusun dari mainan bekas.
Sementara di ruangan lain ada karya instalasi multimedia Asmudjo J. Irianto (1962) berupa empat sosok patung figur. Ada figur dalam posisi tangan menuding, bergelantung di awang-awang atau roboh terlentang. Keempatnya figur laki-laki, berpostur ideal tapi kaku. Figur-figur ini diandaikan berada dalam sistem patriarki, dominasi laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari isu reproduksi perempuan hingga sumber daya alam dan ekonomi. Ideologi patriarki juga terwujud dalam sistem kekerabatan patriarkal yang membentuk garis keturunan melalui hubungan ayah ke anak laki-laki. Keluarga, agama dan hukum adalah pilar-pilar utama dalam sistem patriarkal.
Karya lain yang juga menarik berupa karya seni grafis perupa asal Bandung, Tisna Sanjaya (1958) dengan narasi program Makan Siang Gratis yang dalam prakteknya banyak menuai masalah. Selain itu Tisna juga menampilkan karya instalasi berupa bentuk kincir air yang di depannya ada sepeda untuk menggerakkan kincir air. Karya ini sebagai metafora bagi pusaran problem-problem sosial politik tanpa jalan keluar yang dirasakan oleh Tisna.
Yang juga menarik karya perupa yang berasal dari generasi yang lebih muda, misalnya Venzha Christ (1975) menghadirkan karya tiga dimensi berbentuk robot, bahkan dia membuat robot yang bisa menggerakkan kakinya. Karya Venzha menggabungkan objek trimatra, bunyi, animasi dan perangkat teknologi yang menggambarkan hubungan manusia dengan alatnya, Bagi Venzha relasi antara elemen-elemen itu adalah seni. Dengan mesin ciptaannya dia berambisi untuk menembus ranah ekstra-terestrial dan dunia paralel (Vortex Line, 2024).
Atau karya Begok Oner (1998), nama samaran seorang seniman grafiti. Pria lulusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret (UNS, Surakarta) ini melukis dua keping pecahan tembok dengan citraan alat backhoe yang biasa dipakai untuk merubuhkan bangunan dan keping pecahan dinding lain dia lukis dengan citraan bentuk peralatan untuk mengaduk semen dan pasir untuk mendirikan bangunan (Riwayat yang Tertimbun dalam Pecahan/After Beteng Baluwerti, 2024 – 2025).
Karya ini berlatar dari pelaksanaan program yang disebut revitalisasi benteng Keraton Yogyakarta, Beteng Baluwerti, pada tahun lalu dengan menggusur ratusan rumah keturunan Abdi Dalem Keraton, tempat ibadah dan tempat usaha warga.
Keraton Yogyakarta dan Dinas Kebudayaan DIY memulai merevitalisasi benteng dengan menggusur bangunan rumah keturunan abdi dalem Keraton yang menempel di dinding tembok Keraton sejak 1867 akibat gempa bumi Jawa saat itu. Sultan Hamengkubuwana VI mengizinkan setiap Abdi Dalem untuk menempati tempat terbuka di sisi benteng untuk dijadikan rumah tinggal.
Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Yogyakarta merasa ketakutan karena perilaku tentara Jepang yang dianggap kejam. Mereka meminta perlindungan kepada Hamengkubuwana IX agar dibuatkan permukiman penduduk di sisi dalam benteng. Kini bangunan rumah abdi dalem Keraton yang menempel didinding Benteng itu telah digusur dalam rangka menyukseskan proyek untuk diajukan ke Unesco berupa Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai Situs Warisan Dunia. Karya Begok Oner dalam ARTJOG 2025 ini merekam penggusuran itu.
ARTJOG 2025 juga memamerkan karya lukis 44 anak-anak dari usia tujuh tahun hingga 14 tahun. Penyelenggara ARTJOG tahun ini memperkenalkan program baru bertajuk Spotlight dengan mempertemukan dunia seni rupa dengan seni lain lewat karya seni instalasi Reza Rahardian (Eudaimonia, 2025). Karya ini hasil kolaborasi dengan seniman lintas bidang, antara lain sutradara Garin Nugroho, dan sejumlah seniman lain.■Raihul Fadjri





















Komentar