Dari Madura Bergerak Arus Estetik di Panggung Seni Rupa Indonesia

Sejarah & Budaya863 Dilihat

Yogyakarta.dialoguejakarta.com – Sumenep, satu kebupaten di Madura, Jawa Timur, bukan wilayah yang dikenal dalam peta seni rupa Indonesia. Tapi di wilayah dengan populasi 1,4 juta jiwa ini pernah digelar pameran 128 karya lukis oleh kelompok perupa Sumenep, KLUPS, pada 7 Februari 2025 di Pendopo Keraton Sumenep. Selain itu, karya seorang pelukis Sumenep, Taufik Rahman, memperoleh penghargaan The Best Art of The Year yang digelar World Contemporary Artist (WCA) di Hongkong pada 2017. Taufik salah satu anggota komunitas seni lukis KLUPS.

Kegiatan seni rupa pun di Sumenep terus berjalan. Diantaranya pameran dua pelukis Sumenep, Sumantri Hotsu dan Tamar Saraseh, bertajuk: “Berdua Kita Utuh”. Pameran yang digelar di Hotel Suramadu, Kota Sumenep, ini berlangsung pada 12 – 19 Juni 2025. Keduanya mengeksplorasi beragam tema, mulai dari budaya hingga kehidupan sehari-hari.

Sumantri Hotsu (60) pada karya lukisnya cenderung mengeksplorasi corak semi abstrak dengan menampilkan subject matter yang masih bisa dikenali dan diimbuhi elemen dekoratif dengan komposisi warna cerah. Karya lukisnya banyak terinspirasi dari tradisi masyarakat Madura. Ada sosok figur pria dengan ikat kepala dalam posisi duduk memegang sebilah keris dalam warna dominan biru (Waktunya, 2025), ada juga citraan bentuk dua ekor sapi sedang dipacu oleh seorang pria di belakangnya (Melesat, 2024), atau tiga sosok perempuan mengenakan pakaian adat (Tiga Penari, 2025).

Pada karyanya yang lain Sumantri Hotsu menampilkan potret perempuan dengan bibir merah menyala (Perempuan Pojok Keraton, 2024), citraan bentuk ikan (Kontestan, 2024), atau perahu kosong di tengah laut (Perahu, 2024). Sumantri Hotsu cenderung mengeksplorasi citraan bentuk tunggal pada karya lukisnya.

Eksplorasi elemen rupa yang berbeda dilakukan Tamar Saraseh (59). Pria lulusan pendidikan seni rupa di IKIP Malang ini mengulik bidang kanvasnya dengan citraan bentuk yang berlapis-lapis seperti sesuatu yang melayang di tengah kegelapan warna dalam suasana mistis lewat karya lukis berbau surealistik.

Dia menggambarkan sosok pria berpakaian tradisional sedang memegang seorang wanita yang berada di atas puggung seekor kuda (Lelaki Sejati, 2025). Di arah belakang dalam warna gelap terhampar bangunan permukiman yang tampak seperti menembus tubuh kuda.

Pada karya lain (Reka Sapi, 2025) ada citraan bentuk seekor sapi dalam sapuan warna coklat menutup latar belakang bangunan beton dan sebatang pohon dalam sapuan warna gelap. Di atas punggung sapi tumbuh sebatang pohon dengan bentuk bangunan rumah di bawahnya, sedang di bagian perut sapi muncul sederet bentuk puting susu dan sederet ember tempat menampung susu di bawahnya.

Tamar Saraseh bak berkisah tentang betapa pentingnya waktu ketika dia menampilkan sosok lelaki sedang duduk dengan menekuk kakinya dengan tangan terangkat bak sedang menunjuk citraan bentuk jam kuno (Meracik Waktu- 2018-2025) dengan latar belakang cakrawala menjelang senja. Tubuh lelaki ini dipenuhi citraan bentuk struktur bangunan dalam sapuan warna gelap, sementara bagian pinggulnya yang terlilit sarung seperti mengeluarkan sederet gentong keramik.

Bagi Tamar Saraseh warna hitam itu mistis, sehingga sangat pas untuk menggambarkan lapisan lapisan realitas yang tidak linear. “Saya percaya ada kehidupan yang lebih asyik di balik yang sekadar tertangkap panca indera” ujarnya. “Dan saya punya banyak pengalaman surealistik tentang alam supranatural sejak kecil.”

Sumantri Hotsu, dan Tamar Saraseh menggarap karya lukis dengan karakter yang kuat. Keduanya dan pelukis lain kini mengawal atmosfir seni rupa di Sumenep agar berjalan sejajar dengan perupa dari daerah lain di panggung seni rupa Indonesia.■ Raihul Fadjri

Komentar