Keliaran Ekspresi Seni Rupa Kelompok Barbaradoz Art Familia

Sejarah & Budaya905 Dilihat

Yogyakarta. dialoguejakarta.com – Hanya satu kata: Liar. Itulah kesan yang muncul dari sejumlah karya lukis dalam pameran kelompok Barbaradoz Art Familia bertajuk Patah Tumbuh Liar #3 – Konflik Energi, di ruang Kebun Buku, Yogyakarta, 27 Mei – 17 Juni 2025.

“Seperti pohon yang teriup angin kencang dan ambruk kemudian tumbuh kembali dengan keliaran dari setiap personal dengan kemerdekaan jiwa masing-masing,” ujar Adhik Kristiantoro, komandan kelompok Barbaradoz Art Familia.

Tengoklah karya Fran Anggoman (Live Energi, 2025) berupa kumpulan bentuk kepala, jari tangan, kaki, hingga tengkorak kepala dalam bentuk yang tidak utuh, saling menindih, dalam posisi jungkir balik. Bentuk-bentuk itu muncul dari torehan garis yang dipoles dengan warna-warna cerah.

Eksplorasi rupa yang senada juga tampak pada karya lukis Iwan Syahroni (Saling Percaya, 2023). Pada karya ini Iwan memenuhi bidang kanvas dengan berbagai bentuk wajah yang tidak biasa dengan mengimbuhi elemen dekoratif, tulisan teks, deretan angka yang juga hasil goresan garis dalam komposisi warna cerah dan blok hitam.

Keliaran yang monokromatik muncul pada karya Adhik Kristiantoro (Solusi Konflik, 2024). Karya ini juga mengeksplorasi berbagai bentuk wajah yang tersusun dari bidang persegi tak beraturan yang mengingatkan orang pada corak kubisme. Hasilnya bentuk wajah yang kacau dan terkesan menyeramkan yang makin dikuatkan dalam warna monokrom hitam putih. Ekspresi keliaran yang mengeksplorasi elemen dekoratif juga muncul pada karya lukisnya yang memakai warna monokrom coklat dan hitam dengan berbagai teks (Hidup Tetap Setara, 2024).

Keliaran yang lebih terstruktur tampak pada karya Bambang Harnawa (Selalu Positif #2, 2010) juga dalam warna monokrom. Dengan menggunakan balpoint di atas kertas Bambang membangun bentuk kepala yang terbelah di bagian atasnya dengan struktur wajah dari susunan bentuk persegi yang tersusun rapi. Dari bagian kepala yang terkuak itu mengalir keluar deretan aksara Jawa bak lontaran susunan fikiran hasil olahan otak.

Sejumlah karya lain juga mengandung keliaran ekspresi dalam berbagai corak. Ada yang bercorak abstrak karya Eko Bambang (Walk Alone, 2024), Bayung Mentari (Mengintai, 2024), dan karya Nur Hananta Diantara (Rumahku, 2025), ada juga bercorak figuratif karya Huda Desember (Mendrawing Doa, 2024).

Keliaran dalam berekspresi ini bukan tanpa sebab. Barbaradoz Art Familia (keluarga dalam seni) berdiri pada tahun 2005 di kampus Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, dengan latar belakang pendidikan seni rupa, seni media rekam, seni pertunjukan dan bahkan ada yang otodidak di kampus Institut Seni Indonesia Yogyakarta. “Dari berbagai disiplin ilmu kita bertemu dalam semacam wadah jalanan,” ujar Adhik Kristiantoro yang juga anggota band bergenre punk. Di sanalah orientasi pikiran itu muncul dari berbagai latar belakang menjadi energi berkesenian yang sangat besar.

Pada dekade tahun 2005-2009 Barbaradoz Art Familia memunculkan proyek seni yang dianggap khalayak seni sebagai komunitas yang sangat rentan dengan berbagai macam tindakan yang terkesan ngawur. Salah satu contoh, Barbaradoz Art Familia menggelar pameran bersama di kedai
belakang Taman Siswa, Yogyakarta, dengan tema “Minimize Fucking Space” berupa ruang berukuran sangat kecil (5 x 6 meter) yang dijadikan karya instalasi.

Pada tahun 2017 mereka menghadapi tantangan hidup yang berat. “Kelompok kami mengalami situasi yang dari tahun ke tahun bertahan tempaan kehidupan ekonomi, bagaimana cara bertahan hidup tapi tetap bisa berkarya,” ujar Adhik.

Di tengah kesulitan itu disusun konsep ekspresi yang mereka sebut Patah Tumbuh Liar dan diwujudkan lewat pameran Patah Tumbuh Liar #1 pada 2017 di Galeri Kasongan, Yogyakarta. Pameran kedua pada 2019 dengan konsep yang sama di Madiun, Jawa Timur, Patah Tumbuh Liar #3 di Kebun Buku Yogyakarta pada Mei 2025. “Sampai detik ini kami komunitas Barabaradoz Art Familia masih sanggup melangkah lebih baik di ranah seni,” kata Adhik.■ Raihul Fadjri

Komentar