Eksplorasi Bentuk dan Narasi Sepeda Lewat Karya Seni Rupa

Yogyakarta.dialoguejakarta.com – Hari Sepeda Dunia dirayakan  dengan menggelar Gerakan Bersepeda dari Bandung Untuk Dunia pada Selasa 3 Juni 2025. Rute bersepeda dimulai dari Pendopo Kota Bandung dan berakhir di Balai Kota Bandung. Kegiatan ini digelar sebagai upaya membangun kota yang lebih sehat dan berkelanjutan dengan bersepeda sekaligus mendorong budaya bersepeda sebagai kegiatan sehari-hari.

Sehari setelah Hari Sepeda Sedunia itu, galeri Orbital Dago, Bandung, menggelar pameran seni rupa bertema sepeda bertajuk “Saya Bersepeda Maka Saya Bike-Bike”, 4 – 29 Juni 2025. Pameran yang diikuti 18 perupa yang berasal dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Mojokerto dan Bali ini bertujuan untuk menunjukan bagaimana bersepeda bisa dimaknai beragam oleh para seniman maupun masyarakat. Bisa sebagai hobi, profesi atlit, maupun sebagai identitas atau gaya hidup dan sebagai gagasan berkarya.

“Bersepeda salah satu solusi bertransportasi yang ramah bagi lingkungan, solusi untuk mengurangi emisi gas buang yang saat ini menjadi isu utama perubahan cuaca global bahkan keadilan sosial,” ujar Rifky “Goro” Effendy, kurator pameran ini.

Pameran “Saya Bersepeda Maka Saya..Bike-Bike” bertujuan memberikan makna lebih kultural kepada dunia bersepeda, melalui bentuk dan gagasan karya seni maupun berbagai bentuk gubahan artistik menyangkut sepeda maupun elemen- elemennya. “Baik secara simbolik maupun menjadi permainan tanda-tanda,” kata Rifky.

Tengoklah karya 18 perupa pada pameran ini. Ada dua batang sepeda tanpa ban berwarna hitam dengan tulisan “Renauld” (Andreas Camelia, To be Different #1, 2025) dan batang sepeda kombinasi warna hitam dan merah dengan tulisan “Harley Davidson” (Andreas Camelia, to be Difgerent #2, 2025). Karya ini seolah menggambarkan produk sepeda yang berkelas yang hanya dimiliki kalangan menengah atas.

Sebaliknya ada sepeda lawas dalam kondisi yang sudah remuk (Awan Simatupang,”Still Alive”, 2017). Narasi yang senada muncul pada karya berupa sepeda yang sebagian besar bentuknya diselimuti karpet berwarna coklat (Joko Avianto, “When Nature Said: Nah, You’re Not Riding Today”, 2025), bahkan sosok sepeda seperti dibungkus yang di gantung di dinding seolah sudah tidak digunakan lagi (“My Carbon Footprint is Wrapped in Bamboo”, 2025).

Adapun perupa asal Yogyakarta, Eddi Prabandono, yang dikenal acap mengeksplorasi alat transportasi termasuk sepeda pada karya tiga dimensinya memadukan pintu mobil berwarna hijau dan sepeda berwarna abu di bagian bawahnya, seolah menarasikan penggunaan mobil yang ramah lingkungan sebagaimana sepeda (“Green Green Go A Ahead”, 2017).

Perupa lainnya mengeksplorasi citraan bentuk lewat karya dua dimensi. Joni Ramian mengeksplorasi corak abstrak berupa saling-silang garis-garis tipis seperti jeruji sepeda berwarna hitam di atas sapuan cat berwarna coklat dan putih (“Brown Constructs”, 2025).

Corak abstrak juga dieksplorasi Wilman Hermana lewat karya patung dari bahan resin berupa siluet figur dalam posisi berdiri dengan kedua tangan terentang ke atas dibalut warna biru yang penuh dengan tekstur berbentuk jejak lintasan ban sepeda. “Jejak-jejak perjalanan (bersepeda) yang pernah dilalui,” ujar Wilman.

Perupa lainnya mengeksplorasi citraan bentuk lewat karya dua dimensi. Rudi Hermawan (“Work Life Pedal Balance”, 2025) lewat karya grafis menggunakan latar belakang warna merah menyala untuk menonjolkan sederet citraan bentuk figur yang berbalut celemek sedang memegang sepeda dengan dua tempat bagasi di bagian belakang dan depan.

Figur utama ini dikelilingi citraan bentuk berupa jaket, buku, sarung tangan, kaus kaki, botol minuman, kunci Inggris, tang untuk menarasikan fungsi sepeda bagi generasi muda. “Mereka menjadikan sepeda bukan sekadar alat untuk berpindah tempat, melainkan bagian dari identitas, rutinitas, dan pilihan hidup aktif di tengah kota yang serba cepat,” ujar Rudi .

Karya Rudi mengingatkan bahwa sejatinya tradisi bersepeda sebagai alat transportasi sehari-hari telah ditinggalkan. Di Yogyakarta yang pernah dikenal sebagai Kota Sepeda, misalnya, hingga tahun 1980-an warga Bantul yang bekerja di Kota Yogyakarta berombongan setiap pagi dan sore masih menapaki jalan raya memakai sepeda. Kini hanya segelintir orang yang masih menggunakan sepeda untuk kegiatan sehari-hari, seperti petani bersepeda ke sawah, atau segelintir penjual makanan tradisional berkeliling kampung.

Pemerintah Kota Yogyakarta yang masih mengidamkan Yogyakarta kembali menjadi Kota Sepeda menyediakan tempat khusus pengguna sepeda di perempatan jalan bertuliskan Ruang Tunggu Sepeda dalam blok warna hijau. Tapi ruang tunggu sepeda itu ditempati pesepeda motor dan mobil saat lampu lalulintas berwarna merah. Tempat parkir sepeda pun kosong. Jalan raya kini disesaki sepeda motor dan mobil.■ R. Fadjri

Komentar